Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #10

Mempersiapkan Kedatangan Presiden

Kekacauan yang mengikuti upaya pembunuhan itu adalah sebuah badai di dalam cangkir teh dibandingkan dengan badai yang sesungguhnya di luar. Di dalam ruang siaran yang porak-poranda, udara terasa pekat oleh bau mesiu dari peralatan radio yang hancur dan amarah yang meluap-luap dari seorang lelaki yang baru saja menatap kematian.

Bung Tomo, yang tadinya terbaring di lantai, kini telah bangkit. Kemarahan karena ditubruk secara kasar oleh Dirgantara telah sepenuhnya sirna, tergantikan oleh pemahaman yang dingin dan mengerikan saat ia menatap lubang hangus di dinding, tepat di tempat jantungnya berada beberapa detik yang lalu. Ia menyentuh lubang itu, merasakan serpihan plester yang masih hangat. Ia bukan lagi hanya seorang orator; ia adalah sebuah target.

“Jadi, ini permainan mereka,” desisnya, suaranya yang serak kini tidak lagi berapi-api, melainkan terdengar tajam seperti bilah pisau. “Jika mereka tidak bisa membungkam suaraku, mereka akan mencoba membungkam jantungku.”

Sariyah, yang tiba beberapa saat kemudian bersama sisa tim Gema, segera mengambil alih komando. Wajahnya adalah topeng ketenangan seorang pemimpin, namun matanya yang bergerak cepat menyapu setiap detail kerusakan. Wajah Bung Tomo yang pucat, dan Dirgantara yang berdiri diam di dekat jendela yang pecah, menatap kegelapan di seberang jalan.

“Kita harus pindah dari sini. Sekarang,” kata Sariyah. “Tempat ini sudah tidak aman. Bung Tomo, kau ikut kami. Timmu akan kami berikan lokasi stasiun pemancar cadangan.”

Perjalanan kembali ke markas di bengkel percetakan adalah sebuah prosesi yang senyap dan tegang. Mereka bergerak melewati jalanan belakang, sebuah rombongan aneh yang terdiri dari pahlawan revolusi yang baru saja lolos dari maut, seorang komandan bayangan dari masa lalu, seorang jurnalis yang matanya merekam segalanya, dan seorang penjaga waktu yang pikirannya berada di dua dunia sekaligus.

Kembali di dalam benteng kertas mereka, suasana debat yang panas segera dimulai. Bung Tomo, dengan semangat yang kembali menyala, ingin segera kembali bersiaran, menceritakan pada seluruh dunia tentang upaya pembunuhan pengecut itu, untuk membakar semangat arek-arek Suroboyo lebih tinggi lagi.

“Tidak,” kata Sariyah dengan tegas, memotong argumennya. “Itulah yang mereka inginkan. Mereka ingin kau bereaksi dengan amarah. Mereka ingin kau memprovokasi pertempuran yang lebih besar. Kita harus berpikir, bukan hanya berteriak.”

Saat perdebatan itu memanas, seorang kurir Gema muda berlari masuk, napasnya tersengal, membawa secarik kertas tipis.

“Mbak Yu, pesan dari pos pendengar kita di Jakarta. Baru saja berhasil dipecahkan.”

Sariyah mengambil kertas itu. Saat ia membacanya, semua warna seolah surut dari wajahnya. Ia menatap Dirgantara, dan di matanya ada kengerian dari sebuah ramalan yang menjadi kenyataan.

“Mereka datang,” bisiknya.

Intelijen Gema telah mengonfirmasi berita yang paling mereka takuti. Akibat eskalasi kekerasan yang tak terkendali di Surabaya, sebuah eskalasi yang dirancang dengan cermat oleh Sang Algojo. Pemerintah Pusat di Jakarta tidak punya pilihan lain. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, bersama sebagian kabinet, akan segera terbang ke Surabaya. Misi mereka: menenangkan situasi, berunding langsung dengan Jendral pasukan sekutu, dan mencegah perang total antara pasukan Republik yang baru lahir dengan kekuatan Sekutu yang superior.

Berita itu jatuh di tengah ruangan seperti sebuah bom. Bagi Bung Kusan dan para pejuang muda lainnya, itu adalah secercah harapan. Kedatangan Sang Proklamator adalah sebuah penguatan moral, sebuah tanda bahwa Surabaya tidak berjuang sendirian.

Namun bagi Dirgantara, Sariyah, dan Citra, berita itu adalah gema dari pengakuan mengerikan yang mereka dengar dari agen Lembaga yang hancur itu: “Dia akan membunuh mereka semua! Soekarno! Hatta! Bung Tomo! Saat mereka semua berkumpul di satu tempat! Sebuah ledakan besar!”

“Ini jebakannya,” kata Dirgantara pelan, suaranya nyaris hilang ditelan oleh keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. “Semua ini, pembunuhan perwira Inggris, provokasi, bahkan serangan padamu, Bung Tomo. Semua ini dirancang untuk satu tujuan: memaksa Soekarno dan Hatta datang kemari.”

Lihat selengkapnya