Fajar yang menyingsing di atas Surabaya pada hari itu tidak membawa serta kehangatan atau janji akan sebuah hari yang baru. Sebaliknya, ia datang seperti sebuah selubung kelabu yang tipis, merayap perlahan di atas kota yang terluka, menyingkap pemandangan yang sarat akan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.
Pertempuran-pertempuran sporadis yang telah mengoyak malam kini telah mereda, namun keheningan yang ditinggalkannya adalah keheningan yang berat, keheningan dari puluhan ribu orang yang sedang menahan napas secara bersamaan.
Di jalanan, barikade-barikade yang terbuat dari gerobak terbalik, karung pasir, dan perabotan rumah tangga berdiri diam seperti monumen-monumen aneh bagi sebuah kemarahan. Di baliknya, di dalam parit-parit perlindungan yang digali dengan tergesa-gesa, arek-arek Suroboyo menunggu. Mereka bukan lagi sekawanan pemuda yang marah dan tak teratur. Malam-malam pertempuran dan gelegar suara Bung Tomo dari radio telah menempa mereka menjadi sesuatu yang lain. Mereka adalah sebuah pasukan, sebuah tentara rakyat.
Seorang pemuda yang usianya mungkin belum genap tujuh belas tahun dengan teliti membersihkan laras senapan Arisaka rampasan perangnya, jemarinya yang kapalan bergerak dengan kelembutan yang tak sesuai dengan usianya. Di sampingnya, seorang lelaki yang lebih tua mengasah ujung bambu runcingnya hingga setajam silet, bibirnya menggumamkan doa dalam diam. Wajah-wajah mereka adalah kanvas dari emosi yang saling bertentangan: ketakutan yang tersembunyi di balik tatapan mata yang lelah, namun juga sebuah tekad yang membara, sebuah kesiapan untuk menyambut takdir apa pun yang akan dibawa oleh hari ini. Mereka menunggu kedatangan Presiden mereka, dan mereka juga menunggu pertempuran terakhir yang mereka yakini akan datang.
Di seberang tanah tak bertuan, di pos-pos penjagaan yang dikelilingi kawat berduri, para prajurit Inggris dan Gurkha juga menunggu. Mereka berdiri siaga di belakang senapan mesin Vickers mereka, jari-jari mereka tak pernah jauh dari pelatuk.
Mereka adalah para prajurit profesional yang telah bertempur di Burma dan Afrika Utara, namun tidak ada satu pun medan perang yang mempersiapkan mereka untuk kegilaan ini. Mereka tidak sedang melawan sebuah pasukan; mereka sedang melawan sebuah kota, sebuah gagasan.
Setiap jendela yang tertutup, setiap atap, setiap gang gelap, terasa seperti sepasang mata yang mengawasi, sebuah ancaman yang tak terlihat. Mereka tidak mengerti api apa yang membakar di dalam dada orang-orang ini, dan ketidaktahuan itu membuat mereka semakin gugup dan semakin berbahaya.
Di jantung dari kota yang sedang menahan napas ini, di dalam bengkel percetakan yang pengap, dewan perang rahasia Gema sedang melakukan persiapan terakhir mereka. Peta Surabaya yang terbentang di atas meja besar kini telah menjadi sebuah kanvas yang rumit, dipenuhi oleh garis-garis merah yang menandai zona bahaya dan titik-titik biru yang menandai posisi para pengamat mereka.
Sariyah bergerak dengan efisiensi seorang komandan lapangan. Ia memberikan pengarahan terakhir kepada para kurir mudanya, para arek lanang dan arek wedok yang akan menjadi sistem saraf bagi operasi mereka.
“Ingat,” katanya, suaranya rendah dan tegas, “tidak ada komunikasi melalui radio. Terlalu mudah disadap. Semua pesan disampaikan secara lisan dengan kata sandi. Jika kalian merasa diikuti, jangan kembali ke sini. Lenyaplah. Keselamatan kalian adalah yang utama.”
Di sudut lain, Bung Kusan sedang membekali tim pengamatnya. Mereka adalah para pemuda pemberani yang akan menyebar ke atap-atap gedung tertinggi, menjadi mata bagi Dirgantara. Kusan menunjukkan pada mereka sebuah sketsa kasar yang digambar oleh Dirgantara dari ingatannya.