Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #12

Sepuluh November

Harapan adalah hal yang rapuh, setipis lapisan embun di atas bilah bayonet. Selama beberapa jam yang menegangkan setelah kedatangan rombongan Presiden, embun harapan itu sempat terasa di udara Surabaya.

Kehadiran Soekarno dan Hatta membawa sebuah jeda yang aneh dalam genderang perang yang nyaris ditabuh. Pertempuran-pertempuran kecil mereda. Arek-arek Suroboyo di barikade-barikade menunggu dengan napas tertahan, sementara para komandan Inggris, di bawah perintah langsung dari Jakarta, juga menahan pasukan mereka.

Di dalam kesejukan Gedung Internatio yang dijaga ketat, negosiasi dimulai; sebuah upaya terakhir yang putus asa untuk menjahit kembali benang perdamaian yang sudah compang-camping.

Dari sebuah atap tersembunyi yang menghadap ke gedung itu, Dirgantara mengamati melalui teropong tua rampasan perang. Setiap gerakan, setiap mobil jip yang datang dan pergi, ia catat dalam benaknya. Ia merasakan ketenangan yang salah, ketenangan yang terasa seperti permukaan laut yang licin sebelum tsunami datang. Di dalam benaknya, ia terus memutar ulang profil psikologis para agen Lembaga: mereka adalah arsitek kekacauan, penganut fanatik dari keteraturan yang lahir dari api. Mereka tidak akan membiarkan perdamaian terjadi begitu saja.

“Dia tidak akan menyerang di sini,” gumam Dirgantara, lebih pada dirinya sendiri. “Terlalu banyak saksi. Terlalu terang.”

“Lalu di mana?” bisik Kusan di sampingnya, matanya yang di balik kacamata tebal itu tidak pernah berhenti bergerak, memindai setiap jendela dan setiap gang di bawah.

Sebelum Dirgantara sempat menjawab, dunia meledak.

Ledakan itu tidak datang dari arah Gedung Internatio. Ia datang dari jantung pertahanan Inggris, dari arah Jembatan Merah. Awalnya, hanya ada kilatan cahaya putih yang sunyi, begitu terang hingga membakar retina dan mengubah seluruh kota menjadi sebuah negatif foto sesaat. Lalu, gelombang kejutnya datang, bukan sebagai suara, melainkan sebagai sebuah pukulan fisik yang menghantam dada, merenggut napas dari paru-paru. Baru setelah itu suaranya datang, sebuah raungan yang merobek langit, suara dari neraka itu sendiri, yang menggetarkan setiap bangunan hingga ke fondasinya.

Bola api raksasa berwarna jingga membumbung ke angkasa, membawa serta puing-puing dan asap hitam pekat yang membentuk sebuah jamur kematian di atas kota. Gudang amunisi utama Inggris telah menjadi kawah.

Untuk sesaat, hanya ada keheningan.

Keheningan yang absolut dan penuh ketidakpercayaan dari sebuah kota yang baru saja menyaksikan matahari buatan terbit di jantungnya.

Di dalam keheningan itu, Dirgantara merasakan sesuatu yang lain. Implannya, yang kewalahan oleh gelombang kejut, menangkap sebuah badai psikis, gelombang ketakutan, kebingungan, dan yang paling kuat, kemarahan yang meluap-luap dari ratusan ribu jiwa yang merasakan hal yang sama dalam satu momen: pengkhianatan.

Lalu, keheningan itu pecah.

Digantikan oleh sebuah auman.

Auman kolektif dari arek-arek Suroboyo yang merasa ditikam dari belakang.

Sabotase Sang Algojo begitu sempurna dalam kekejamannya. Ia tidak menyerang para pemimpin. Ia menyerang harapan itu sendiri. Meledakkan sebuah gudang amunisi Sekutu di tengah-tengah perundingan damai adalah sebuah deklarasi perang yang tak terbantahkan.

“DIKHIANATI!”

Teriakan itu menyebar dari satu barikade ke barikade lain seperti kobaran api. Logika dan kesabaran lenyap seketika, ditelan oleh gelombang amarah yang murni. Para pejuang yang tadinya menahan diri kini melompat keluar dari parit-parit mereka, senapan dan bambu runcing teracung. Harapan mereka akan sebuah solusi damai telah hancur, dan yang tersisa hanyalah semboyan terakhir mereka: MERDEKA ATAU MATI!

Lihat selengkapnya