Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #13

Neraka di Jembatan Merah

Api adalah napas kota itu, dan jeritan adalah detak jantungnya. Setelah gelombang kejut dari ledakan artileri mereda, yang tersisa bagi Dirgantara hanyalah dengungan frekuensi tinggi di telinganya dan kekosongan yang menganga di tempat di mana Sariyah seharusnya berada.

Ia sendirian.

Kata itu terasa lebih dingin dan lebih tajam daripada serpihan logam yang menggores kulitnya.

Ia merangkak di antara puing-puing, setiap gerakan mengirimkan gelombang rasa sakit dari kakinya yang terluka dan kepalanya yang berdenyut. Namun, rasa sakit fisik itu tenggelam oleh badai yang mengamuk di dalam jiwanya. Ia telah gagal. Di momen paling krusial, ia gagal melindungi satu-satunya jangkar yang ia miliki di zaman ini.

Bayangan tubuh Sariyah yang terlempar oleh ledakan terus terputar di benaknya, sebuah siksaan tanpa akhir.

Apakah ia terluka?

Apakah ia terperangkap?

Ataukah …

Ia memaksa pikiran itu keluar. Menyerah pada keputusasaan adalah kalimat yang ada tiada di benaknya. Naluri seorang agen, yang ditempa oleh pengkhianatan dan kehilangan, mengambil alih.

Bertahan hidup.

Itulah satu-satunya perintah yang tersisa.

Bertahan hidup, temukan Sariyah, dan buat Sang Algojo membayar dengan harga yang tak terbayangkan.

Didorong oleh amarah yang dingin itu, ia mulai bergerak. Bukan menjauh dari pertempuran, melainkan menuju ke jantungnya.

Suara pertempuran terberat, gemuruh yang tak putus-putus dari senapan mesin dan ledakan granat, menariknya seperti ngengat ke arah api.

Di sanalah pusat gravitasi dari neraka ini.

Jembatan Merah.

Perjalanan singkat itu terasa seperti melintasi lingkaran-lingkaran neraka. Jalanan dipenuhi oleh mayat-mayat yang baru saja berjatuhan, tubuh-tubuh yang beberapa menit lalu masih dipenuhi oleh pekikan “Merdeka!” kini terbaring diam dalam pose-pose yang mengerikan. Sebuah trem yang terbakar berdiri miring di tengah jalan, kerangka bajanya yang menghitam tampak seperti tulang belulang seekor binatang purba. Dari jendela-jendela gedung di sekelilingnya, tembakan-tembakan balasan dari para pejuang menyalak sporadis, sebuah perlawanan putus asa dari sebuah kota yang menolak untuk mati.

Saat ia semakin dekat ke area jembatan, intensitas pertempuran meningkat secara eksponensial. Di sinilah garis depan yang sesungguhnya. Jembatan itu sendiri telah menjadi tanah tak bertuan, sebuah arena pembantaian di mana kedua belah pihak saling memuntahkan timah panas tanpa henti. Di sisi utara, pasukan Inggris dan Gurkha telah mendirikan sarang-sarang senapan mesin Bren dan Vickers di balik karung-karung pasir, menciptakan zona kematian yang nyaris tak tertembus.

Di sisi selatan, arek-arek Suroboyo bertahan dengan keberanian yang nyaris gila. Mereka berlindung di balik barikade-barikade yang terbuat dari apa saja. Mobil-mobil yang hangus, tiang-tiang listrik yang roboh, bahkan tumpukan mayat rekan mereka sendiri.

Dirgantara terpaksa merunduk di balik sisa-sisa sebuah dinding saat rentetan peluru dari senapan mesin menyapu jalanan di depannya, mengoyak aspal dan mengirimkan percikan api ke udara. Ia terperangkap.

Di kanannya, sebuah tank Stuart bergerak maju perlahan, meriam utamanya menyalak dan menghancurkan sebuah pos pertahanan pejuang di lantai dua sebuah gedung.

Lihat selengkapnya