Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #14

Di Balik Lensa Citra

Di neraka, tidak ada waktu untuk berpikir. Yang ada hanyalah naluri. Bagi para pejuang, naluri itu adalah untuk menembak, berlindung, dan berteriak. Bagi Citra, nalurinya adalah untuk mengangkat kamera.

Ledakan yang memisahkannya dari Dirgantara dan Kusan melemparkannya ke dalam pusaran kekacauan yang memekakkan telinga. Ia terlempar ke balik sebuah tumpukan karung pasir yang robek, tubuhnya sakit dan telinganya berdenging hebat. Selama beberapa detik, ia hanya bisa terbaring di sana, merasakan getaran tanah dari ledakan-ledakan susulan dan mencium bau ozon yang tajam bercampur debu plester.

Rasa takut yang dingin dan primal mencengkeram perutnya, sebuah ketakutan murni yang tidak pernah ia rasakan bahkan saat berhadapan dengan tiga agen pembunuh di gang gelap.

Saat itu, ada Dirgantara.

Kini, ia sendirian.

Namun, di atas rasa takut itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang telah mendarah daging dalam dirinya. Sebuah perintah internal yang lebih kuat dari keinginan untuk bertahan hidup.

Rekam ini. Dokumentasikan ini. Jika kau akan mati di sini, matilah sambil bekerja.

Dengan tangan gemetar, ia memeriksa kamera Leica-nya. Ajaibnya, benda itu masih utuh, lensa Summicron-nya yang berharga tidak retak, hanya sedikit tergores. Kamera itu adalah perisainya. Selama ia bisa melihat dunia melalui jendela bidik kecil itu, kengerian di sekelilingnya menjadi sedikit lebih jauh, sedikit lebih teratur. Kekacauan itu menjadi sebuah komposisi. Penderitaan menjadi sebuah gambar.

Ia merangkak keluar dari persembunyiannya, masuk ke dalam sebuah lukisan hidup karya Hieronymus Bosch. Jalanan di hadapannya telah menjadi sungai manusia yang panik. Para pejuang berlari ke arah garis depan, sementara warga sipil, para perempuan yang menggendong anak, lelaki tua yang tertatih-tatih berlari ke arah sebaliknya, wajah mereka adalah topeng teror. Di atas mereka, langit Surabaya berwarna merah sakit, memuntahkan peluru-peluru meriam yang melolong seperti iblis.

Klik.

Ia memotret wajah seorang ibu yang sedang memeluk bayinya yang menangis, matanya menatap kosong ke langit yang terbakar.

Klik.

Ia memotret sekelompok pemuda yang berbagi sebatang rokok terakhir di balik barikade, tawa mereka terdengar tegang di antara dentuman. Ia tidak lagi hanya seorang jurnalis; ia adalah seorang arsiparis dari sebuah kiamat kecil.

Ia tersapu oleh arus pejuang yang bergerak maju, dan tanpa ia sadari, ia telah berada terlalu dekat dengan garis depan di sekitar Penjara Kalisosok. Di sini, pertempuran berlangsung dari jendela ke jendela, dari pintu ke pintu.

Ia berlindung di dalam sebuah kantor pos yang hancur bersama sekelompok laskar dari Pemuda Republik Indonesia.

Mereka terjepit.

Dari seberang jalan, dari balik jendela-jendela sebuah gedung kantor yang kokoh, seorang penembak jitu Inggris dengan senapan Lee-Enfield yang dilengkapi teleskop, mulai memburu mereka satu per satu dengan ketenangan yang mematikan.

Setiap beberapa menit, terdengar suara tembakan tunggal yang tajam, diikuti oleh jeritan dan suara tubuh yang rubuh. Keputusasaan mulai merayap di antara para pejuang.

“Kita tidak bisa melihatnya!” teriak komandan regu mereka, seorang pemuda bernama Hamid, wajahnya pucat karena marah dan frustrasi. “Dia seperti hantu!”

Citra merunduk di bawah sebuah meja yang terbalik, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba mengintip melalui sebuah lubang di dinding.

Klik.

Ia berhasil memotret gedung di seberang, namun ia tidak bisa melihat apa-apa selain kilatan kecil dari moncong senapan sesaat setelah menembak. Saat itulah, sebuah peluru menghantam dinding tepat di samping kepalanya, mengirimkan serpihan-serpihan tajam ke udara.

Ia jatuh terduduk, merasakan sengatan panas di pipinya.

Darah.

Lihat selengkapnya