Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #15

Hantu Melawan Hantu

Ada perbedaan tipis antara bertahan hidup dan menjadi hantu. Dirgantara Pramudya kini berjalan di atas garis tipis itu. Selama dua hari setelah ia terpisah dari Sariyah, ia bergerak di dalam perut kota yang sedang terbakar, bukan lagi sebagai seorang ahli strategi atau pelindung, melainkan sebagai sesosok arwah yang menolak untuk beristirahat.

Setiap sudut jalan adalah sebuah monumen penderitaan. Setiap gedung yang hangus adalah nisan bagi sebuah harapan. Ia bergerak di antara semua itu, jubah pengembaranya yang kini compang-camping dan berlumur debu menjadi kain kafan yang sempurna. Rasa sakit di kakinya telah menjadi sebuah denyutan yang konstan, teman setianya di tengah kesendirian. Namun, luka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lubang menganga yang ditinggalkan oleh kehilangan Sariyah di dalam jiwanya.

Ia terus bergerak, didorong oleh sebuah amarah yang dingin dan sunyi. Amarah itu adalah satu-satunya bahan bakarnya, satu-satunya hal yang mencegahnya untuk sekadar duduk di tengah puing-puing dan membiarkan peluru nyasar mengakhiri semuanya.

Ia mencari.

Ia mencari wajah Sariyah di antara para pengungsi yang panik.

Ia mencari jejak Kusan di antara para pejuang yang bergerak dari satu barikade ke barikade lain.

Ia tidak menemukan apa-apa.

Seolah-olah mereka semua telah ditelan oleh api.

Pada malam kedua, saat ia bersembunyi di dalam reruntuhan sebuah gereja tua, menatap langit yang merah melalui lubang di atap kubahnya, ia membiarkan dirinya merasakan kepedihan itu sepenuhnya. Ia mencengkeram Kujang Naga di pinggangnya, gagang naga itu terasa dingin di telapak tangannya. Ia teringat pada Ratna Laras, pada sumpahnya untuk menjaga keseimbangan. Ia teringat pada Zahira, pada mimpinya tentang dunia yang terhubung oleh kepercayaan. Ia teringat pada Daeng Ratu, pada kebijaksanaannya dalam menjaga memori. Dan ia teringat pada Sariyah, pada apinya, pada janji yang tak terucap di antara mereka di gerbong kereta.

Apakah ini takdirnya? Untuk menemukan jiwa-jiwa pemberani di setiap zaman, menjalin ikatan dengan mereka, hanya untuk menyaksikan mereka direnggut darinya? Ia bukan lagi seorang penjaga keseimbangan. Ia merasa seperti seorang pembawa kutukan.

Namun, di tengah keputusasaannya, disiplin seorang agen perlahan bangkit kembali. Ia tidak bisa menyelamatkan masa lalu, tapi ia masih bisa mengubah masa kini. Ia mulai mendengarkan. Bukan dengan telinganya, melainkan dengan implannya. Ia menyaring kebisingan perang, mencari pola di dalam kekacauan. Ia mulai memetakan pergerakan pertempuran, mencoba memahami strategi musuh.

Dan ia menemukan sesuatu yang aneh.

Sesuatu yang salah.

Pagi harinya, ia bergerak menuju kawasan Kranggan, sebuah area yang menjadi pusat perlawanan laskar-laskar buruh pelabuhan. Pertempuran di sana berlangsung sengit. Namun, ia mendengar dari bisik-bisik para pejuang yang mundur bahwa mereka baru saja kehilangan pemimpin mereka, seorang lelaki karismatik bernama Cak Karto, yang dikenal karena keberaniannya yang nekat.

“Dia tertembak di atap,” kata seorang pemuda yang menangis sambil membalut lukanya. “Tepat saat dia akan memberi isyarat. Sebuah peluru tunggal, entah dari mana.”

Naluri Dirgantara menegang.

Peluru tunggal.

Entah dari mana.

Lihat selengkapnya