Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #16

Pertarungan di Atas Atap

Waktu seolah membeku di atas perahu nelayan yang bergoyang itu. Bagi para pejuang Hizbullah di seberang sungai, yang mereka lihat hanyalah kilatan sesosok tubuh yang melompat keluar dari air, diikuti oleh keheningan singkat sebelum pertempuran di jembatan kembali berlanjut. Mereka tidak melihat duel dua zaman yang baru saja dimulai di jantung kegelapan.

Kejutan di mata Sang Algojo hanya berlangsung sepersekian detik. Pelatihannya di Lembaga telah menempanya menjadi mesin yang bereaksi, bukan manusia yang merasa. Saat Kujang Naga Dirgantara membelah udara senja, Sang Algojo tidak mundur. Ia justru menjatuhkan senapan futuristiknya, membiarkannya jatuh berdebam, dan dengan gerakan yang sama cairnya, ia menghunus sebuah pisau dari pinggangnya. Bilahnya yang pendek dan gelap mulai bergetar, mengeluarkan suara dengungan frekuensi tinggi yang membelah udara.

CLANG!

Baja kuno dari abad ke-14 bertemu dengan bilah vibro dari abad ke-21. Percikan energi biru memancar di titik pertemuan, menerangi kedua wajah yang saling berhadapan dalam cahaya yang mengerikan. Kekuatan dari benturan itu nyaris membuat perahu kecil itu terbalik.

“Kau seharusnya tetap menjadi hantu di dalam arsip, Pramudya,” desis Sang Algojo, matanya yang dingin menatap Dirgantara tanpa berkedip. “Sejarah tidak punya tempat untuk sentimentalitas sepertimu.”

Dirgantara tidak menjawab. Ia mendorong dengan sekuat tenaga, memisahkan senjata mereka. Amarah dan kepedihan atas kehilangan Sariyah, atas kematian para pejuang di Jembatan Merah, kini telah ia suling menjadi sebuah fokus yang mematikan. Ia menyerang, kujangnya menari dalam sebuah busur yang diajarkan oleh Ratna Laras, sebuah gerakan yang dirancang untuk melumpuhkan, bukan hanya menebas.

Namun, Sang Algojo bukanlah Gajah Mada. Ia tidak bertarung dengan kekuatan mentah. Ia bertarung dengan efisiensi algoritma. Ia mengelak, gerakannya minimal namun sempurna, lalu membalas dengan tusukan-tusukan cepat yang mengarah ke titik-titik vital Dirgantara. Pertarungan di atas perahu yang sempit dan tidak stabil itu adalah sebuah tarian kematian yang mustahil. Mereka berdua adalah master, namun dari dua sekolah yang saling bertentangan secara fundamental: Dirgantara dengan perpaduan naluri dan data, Sang Algojo dengan logika murni yang brutal.

Menyadari bahwa ia tidak bisa menang dalam pertarungan jarak dekat di ruang sempit ini, Sang Algojo mengubah taktik. Dalam sebuah gerakan mundur, ia menendang salah satu dayung, membuatnya terlempar ke arah Dirgantara. Dirgantara menangkisnya dengan mudah, namun pengalihan perhatian sepersekian detik itu sudah cukup. Sang Algojo menekan sebuah tombol di pergelangan tangannya. Sebuah ledakan kecil yang menyilaukan namun tanpa suara meledak dari senapan yang tergeletak, menciptakan kilatan magnesium yang membutakan.

Dirgantara, yang matanya jauh lebih sensitif, meraung kesakitan saat dunia berubah menjadi putih. Saat penglihatannya kembali beberapa detik kemudian, perahu itu kosong. Di kejauhan, ia melihat Sang Algojo telah melompat ke sebuah dermaga kayu yang reyot dan kini sedang berlari, menghilang di antara gudang-gudang yang terbakar di tepi sungai.

“Tidak kali ini,” geram Dirgantara.

Pengejaran pun dimulai. Ini adalah pengejaran primal antara dua predator puncak. Dirgantara melompat ke dermaga, mengabaikan rasa sakit di kakinya, dan mengikuti jejak lawannya. Ia tidak lagi bergerak seperti hantu; ia bergerak seperti badai.

Mereka berlari melewati neraka. Jalanan di sekitar Ngagel telah menjadi zona pertempuran terbuka. Api menjilat-jilat dari jendela-jendela gedung, asap hitam tebal menyesakkan napas. Mereka melompati mayat-mayat yang bergelimpangan, mengabaikan desing peluru nyasar yang melintas di sekitar mereka. Bagi mereka, perang besar di sekeliling ini hanyalah latar belakang bagi duel pribadi mereka.

Sang Algojo bergerak ke atas. Ia memanjat sebuah tangga darurat yang berkarat di sisi sebuah gedung perkantoran tua yang sebagian telah runtuh, menuju ke atap. Dirgantara mengikutinya tanpa ragu. Ia tahu ke mana ini akan mengarah. Sebuah arena yang lebih terbuka. Sebuah tempat di mana tidak ada orang lain yang bisa ikut campur.

Saat Dirgantara akhirnya tiba di atap, pemandangan di hadapannya adalah sebuah visi dari kiamat. Atap-atap genteng yang diterangi cahaya bulan telah digantikan oleh hamparan membara di Surabaya. Di bawah mereka, seluruh kota tampak seperti lautan api, diselingi oleh kilatan-kilatan cahaya dari ledakan dan tembakan. Angin malam yang panas membawa serta jeritan dan raungan dari pertempuran di bawah.

Di tengah lanskap neraka inilah, Sang Algojo telah menunggunya.

“Arena yang lebih pantas, bukan begitu, Pramudya?” katanya, suaranya tenang di tengah deru api. “Tempat di mana dua dewa bisa bertarung tanpa diganggu oleh semut-semut di bawah.”

Lihat selengkapnya