Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #17

Gema Tiga Perempuan

Ada keheningan yang aneh di dalam neraka. Setelah terlempar dari atap yang meledak, Dirgantara jatuh menembus beberapa lapis lantai kayu yang lapuk sebelum akhirnya terhempas di atas tumpukan bangku gereja yang hancur di lantai dasar. Untuk waktu yang tak terhingga, yang ada hanyalah kegelapan dan rasa sakit.

Rasa sakit yang begitu total, begitu absolut, hingga ia tidak lagi memiliki bentuk. Itu adalah sebuah lautan api di mana kesadarannya tenggelam.

Saat ia perlahan-lahan bangkit, suara pertama yang ia dengar bukanlah pekikan perang atau dentuman meriam. Melainkan suara tetesan air yang ritmis dan lembut.

Plink.

Plink.

Plink.

Suara itu menjadi jangkarnya di tengah badai penderitaan.

Ia membuka matanya. Di atasnya, langit-langit gereja yang tadinya megah kini telah menjadi sebuah lubang raksasa yang menganga, memperlihatkan langit malam Surabaya yang berwarna merah sakit. Hujan gerimis yang dingin turun melalui lubang itu, menciptakan genangan-genangan kecil di lantai marmer yang retak dan menetes di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat.

Ia berada di dalam reruntuhan sebuah gereja besar. Pilar-pilar batu yang kokoh kini telah menjadi tunggul-tunggul yang compang-camping. Jendela-jendela kaca patri yang tadinya melukiskan kisah-kisah suci kini telah hancur, menyisakan hanya serpihan-serpihan tajam berwarna-warni yang berkilauan seperti permata pecah di antara puing-puing. Di ujung ruangan, sebuah salib kayu raksasa telah jatuh dari altar, terbaring miring seolah ikut berduka atas kehancuran rumahnya.

Ini adalah sebuah tempat suci yang telah dinodai, sebuah ruang perlindungan yang telah dilanggar. Dan di tengah semua itu, Dirgantara merasa dirinya adalah penistaan terbesar.

Ia mencoba bergerak, dan seluruh sistem sarafnya menjerit dalam protes. Luka tusukan di sisi tubuhnya terasa seperti sebuah lubang menganga yang diisi oleh bara api. Implannya bekerja keras, nanobot berkerumun di sekitar kerusakan, mencoba memperbaiki arteri yang robek dan organ yang memar. Namun, kerusakan yang ditimbulkan oleh pisau vibro dan gelombang kejut dari ledakan itu terlalu parah.

Monitor Biologisnya mengirimkan serangkaian peringatan darurat yang berkedip-kedip di sudut pandangannya: Pendarahan internal masif. Fraktur tulang rusuk ganda. Gegar otak tingkat dua.

Ia terbatuk, dan merasakan rasa pahit dari darah di mulutnya. Ia telah menghadapi kematian berkali-kali, tetapi belum pernah sedekat ini, dan belum pernah sesendirian ini.

Sendirian.

Kata itu kembali menghantamnya.

Sariyah, wajahnya muncul di benaknya, begitu jelas, begitu nyata. Senyumnya yang hangat, matanya yang cerdas. Ia melihat kembali momen ledakan itu, melihat tubuh perempuan itu terlempar. Ia telah kehilangan jejaknya. Di tengah kota yang menjadi lautan api ini, kemungkinan Sariyah selamat … sangatlah kecil.

Keputusasaan yang begitu nyata, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, mulai merayap masuk ke dalam jiwanya, lebih dingin dan lebih mematikan daripada luka mana pun di tubuhnya. Apa gunanya semua ini? Ia datang ke sini untuk melindungi, namun ia telah gagal. Ia datang untuk menjaga keseimbangan, namun yang ia ciptakan hanyalah lebih banyak kekacauan dan kematian.

Dengan gerakan yang terasa begitu berat, ia merogoh pinggangnya. Tangannya yang gemetar mencengkeram gagang Kujang Pusaka Naga. Ia menariknya keluar dari sarungnya. Bilah pusaka dari abad ke-14 itu tampak aneh di tengah reruntuhan abad ke-20 ini, sebuah gema dari dunia yang lebih sederhana, dunia yang penuh dengan kehormatan dan sumpah.

Ia menatap ukiran naga di gagangnya, dan saat itulah para hantu dari masa lalunya datang untuk menemuinya.

Lihat selengkapnya