Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #18

Suara dari Masa Lalu

Di dalam reruntuhan bangunan yang dinodai, waktu kehilangan artinya. Bagi Dirgantara, ia bisa saja telah terbaring di sana selama beberapa jam atau beberapa hari. Dunia di luar telah menjadi sebuah gema yang jauh, sebuah simfoni neraka yang terdiri dari rentetan tembakan, ledakan-ledakan yang mengguncang bumi, dan jeritan-jeritan yang sesekali terbawa oleh angin malam yang dingin.

Ia terbaring di atas tumpukan bangku kayu yang hancur, tubuhnya adalah sebuah peta penderitaan. Luka tusukan di sisinya terasa seperti sebuah lubang menganga yang diisi oleh bara api, dan setiap tarikan napas adalah sebuah perjuangan yang menyakitkan. Nanobot di dalam aliran darahnya bekerja tanpa henti, sebuah pasukan mikroskopis yang berjuang mati-matian untuk memperbaiki kerusakan internal, membekukan pendarahan, dan melawan infeksi yang mulai merayap. Namun, teknologi dari masa depan pun memiliki batas saat dihadapkan pada kerusakan fisik yang brutal. Ia demam, kesadarannya timbul tenggelam seperti sebuah kapal yang karam.

Dalam momen-momen kritisnya, ia tidak lagi merasakan keputusasaan. Api yang telah dinyalakan kembali oleh gema para perempuan pejuang dari masa lalunya masih menyala, sebuah bara kecil yang menolak untuk padam di tengah badai penderitaan. Namun, api itu kini dibakar oleh bahan bakar yang rapuh. Ia tahu, jika ia tidak segera mendapatkan pertolongan, dan tempat yang lebih aman, maka bara itu akan padam dengan sendirinya, ditelan oleh dinginnya kematian.

Ia mencengkeram Kujang Naga di sisinya. Bilah pusaka itu terasa dingin di kulitnya yang demam, satu-satunya benda nyata di dunia yang terasa seperti mimpi buruk. Ia tidak akan mati di sini. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan Sariyah menjadi sebuah kenangan menyakitkan lainnya. Ia harus percaya perempuan itu masih hidup. Kepercayaan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya terus bernapas.

Saat kesadarannya mulai memudar lagi, saat kegelapan mulai merayap di tepi pandangannya, ia mendengarnya.

Suara langkah kaki.

Bukan derap sepatu bot tentara Inggris yang berat. Bukan pula langkah kaki warga sipil yang panik. Ini adalah langkah kaki yang ringan, hati-hati, dan terkoordinasi. Langkah kaki para pemburu yang sedang menyisir reruntuhan.

Jantungnya yang lemah berdebar kencang.

Sang Algojo.

Ia kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Dengan sisa-sisa terakhir dari kekuatannya, Dirgantara mencoba untuk mendorong tubuhnya ke posisi yang lebih terlindung, di balik sisa-sisa tembok yang hancur. Ia menggenggam gagang Kujang Naga begitu erat dan siap dengan segala kemungkinan terburuk.

Ia tidak akan mati berbaring.

Jika ini adalah akhir, ia akan menghadapinya dengan berdiri, seperti yang telah diajarkan Ratna.

Ia akan menjadi penjaga keseimbangan hingga napas terakhirnya.

Langkah-langkah kaki itu berhenti di dekat pintu utama bangunan yang telah hancur. Ia bisa mendengar bisikan-bisikan rendah dalam bahasa yang tidak ia kenali, lalu keheningan. Mereka sedang mengamati, merasakan. Ia menahan napas, setiap otot di tubuhnya menegang, menunggu serangan terakhir yang tak terhindarkan.

Lalu, sebuah suara memecah keheningan. Bukan suara tembakan atau teriakan. Sebuah suara yang seharusnya tidak ada di sini. Suara seorang perempuan.

“Elias?”

Lihat selengkapnya