Waktu memulihkan, tetapi juga menyiksa.
Selama tiga hari, Dirgantara terbaring di dalam keheningan gudang bawah tanah di Plampitan, sebuah kepompong penderitaan di mana kesadarannya timbul tenggelam.
Setiap kali ia terbangun, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Sariyah, terkadang sedang mengganti kompres dingin di dahinya, terkadang hanya duduk diam di kursi kayu di sampingnya, menjaganya di bawah cahaya lampu minyak yang redup. Kehadiran perempuan itu adalah sauhnya, satu-satunya hal yang mencegah jiwanya terhanyut dalam lautan demam dan mimpi buruk yang dipenuhi oleh api dan jeritan.
Di dalam momen-momen hening itu, sebuah bahasa baru yang tak terucap terjalin di antara mereka. Saat Sariyah membantunya minum, jemari mereka akan bersentuhan sesaat, sebuah sengatan kehangatan yang mengatakan lebih dari seribu kata. Saat mata mereka bertemu di tengah keheningan malam, ada sebuah pemahaman yang dalam, sebuah pengakuan akan takdir aneh yang telah mempertemukan mereka kembali hanya untuk melemparkan mereka ke dalam neraka.
Perasaan yang pernah tumbuh di antara mereka di Batavia, yang terpaksa mereka kubur, kini bangkit kembali dengan kekuatan yang lebih besar, ditempa dalam api kehilangan dan penemuan kembali yang mustahil.
Pada hari keempat, demamnya akhirnya turun. Untuk pertama kalinya, ia terbangun dengan pikiran yang jernih. Rasa sakit di tubuhnya masih ada, sebuah denyutan konstan dari luka tusuk di sisinya dan luka tembak di kakinya. Namun kabut yang menyelimuti otaknya telah terangkat.
Ia melihat Sariyah tertidur di kursinya, kepalanya bersandar di dinding, wajahnya yang damai dalam tidur menunjukkan kelelahan yang luar biasa. Dirgantara menatapnya, dan sebuah gelombang emosi yang begitu kuat menghantamnya: rasa terima kasih, kekaguman, dan sebuah rasa memiliki yang menakutkan. Ia telah berjanji untuk melindunginya, namun pada akhirnya, perempuan inilah yang telah menariknya kembali dari ambang kematian.
Saat Sariyah terbangun dan melihat Dirgantara telah sadar sepenuhnya, kelegaan di matanya begitu nyata hingga terasa seperti sebuah sentuhan fisik.
“Selamat datang kembali, Bung Hantu,” bisiknya, sebuah senyum tulus pertama yang Dirgantara lihat sejak mereka tiba di neraka ini.
Kabar tentang kesadarannya menyebar dengan cepat di markas kecil itu. Bung Kusan masuk, membawakannya semangkuk bubur panas. Wajahnya menunjukkan kelegaan yang tulus. Namun, orang yang paling ingin ditemui Dirgantara adalah Citra. Ia perlu tahu apa yang telah dilihat oleh perempuan itu, apa yang telah direkam oleh lensanya di tengah kekacauan.
Citra masuk tak lama kemudian. Ia tidak lagi terlihat seperti korban yang ketakutan. Ia kembali menjadi dirinya sendiri: seorang jurnalis yang matanya menyala dengan intensitas dan rasa ingin tahu. Di tangannya, ia membawa sebuah amplop tebal berisi foto-foto yang baru saja ia cetak di sebuah kamar gelap darurat.
“Aku dengar kau sudah bangun,” katanya, nadanya datar namun matanya tidak bisa menyembunyikan kelegaannya. “Ada sesuatu yang harus kalian lihat.”
Mereka berkumpul di sekitar dipan Dirgantara. Sariyah duduk di tepi ranjang, siap membantu jika Dirgantara membutuhkan sesuatu. Kusan berdiri bersandar di dinding, lengannya bersedekap. Di bawah cahaya lampu minyak, Citra mulai mengeluarkan foto-fotonya satu per satu, meletakkannya di atas selimut tipis yang menutupi kaki Dirgantara.
Itu adalah sebuah galeri dari neraka.
Foto pertama menunjukkan Jembatan Merah yang diselimuti asap, siluet para pejuang tampak kecil dan rapuh di hadapan tank-tank Inggris. Foto berikutnya adalah sebuah potret close-up dari wajah Mulyono, pemimpin laskar pemberani itu, yang sedang meneriakkan perintah sesaat sebelum ia gugur. Di matanya, Citra berhasil menangkap sebuah campuran antara keberanian yang membara dan ketakutan yang tersembunyi.
Dirgantara menatap foto itu, dan hatinya terasa seperti diremas. Ia berada di sana. Ia bertarung di sisi lelaki itu. Ia menyaksikan saat lelaki itu jatuh. Foto ini bukan lagi sebuah dokumen sejarah; itu adalah sebuah nisan, sebuah pengingat akan kegagalannya.