Foto itu tergeletak di tengah meja, di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip. Sebuah gambar yang sunyi, diambil dalam kedamaian sesaat sebelum badai. Hotel Yamato yang megah, bendera Belanda yang angkuh, dan di dalam sebuah pantulan kaca yang nyaris tak terlihat, sesosok iblis sedang menanam benih kehancuran.
Kebenaran itu tidak membawa kelegaan, hanya sebuah kengerian yang dingin dan melumpuhkan. Di dalam gudang bawah tanah yang menjadi benteng terakhir mereka, keheningan terasa lebih berat daripada dentuman meriam mana pun. Mereka telah menemukan jantung dari rencana Sang Algojo, namun jantung itu berdetak di dalam sebuah benteng yang tak tertembus, dikelilingi oleh ribuan prajurit musuh.
“Jadi, ini permainan akhirnya,” bisik Sariyah, suaranya serak. Ia menatap Dirgantara, matanya yang telah menyaksikan puluhan tahun perjuangan kini dipenuhi oleh bayangan kekalahan. “Bukan pertempuran di jalanan. Semua itu hanyalah pengalih perhatian. Jebakan yang sesungguhnya telah ia siapkan sejak awal, menunggu para pemimpin kita berjalan masuk dengan sukarela.”
Citra duduk di atas sebuah peti amunisi kosong, memeluk kameranya erat-erat. Wajahnya pucat. Foto yang ia ambil dengan naluri seorang seniman kini telah berubah menjadi sebuah ramalan kiamat. “Kita harus memberitahu seseorang,” katanya, suaranya bergetar. “TKR, para komandan pejuang. Mereka harus tahu.”
“Dan mengatakan apa pada mereka?” sahut Bung Kusan dengan getir, membersihkan pistol tuanya dengan sepotong kain yang kotor. “Bahwa Bung Hantu kita ini bisa melihat hantu di dalam foto? Bahwa musuh kita adalah seorang penyihir dari masa depan yang menanam bom plasma? Mereka akan menganggap kita gila, mengikat kita, dan menyerahkan kita pada laskar terdekat sebagai mata-mata.”
Kusan benar.
Realitas dari situasi mereka begitu absurd, begitu melampaui nalar zaman ini, hingga kebenaran itu sendiri telah menjadi racun yang tak bisa mereka bagikan. Mereka terisolasi di dalam pengetahuan mereka yang mustahil, terkurung bersama bom waktu yang terus berdetak di jantung kota.
Dirgantara bersandar di dinding, memejamkan mata, mencoba menekan gelombang rasa sakit dari lukanya yang kembali berdenyut. Namun, rasa sakit yang lebih hebat datang dari pikirannya. Ia memutar ulang semua skenario. Ia melihat Sang Algojo dengan begitu jelas, bergerak dengan efisiensi Lembaga yang dingin. Ia memilih Hotel Yamato bukan hanya karena itu adalah tempat yang netral, tetapi karena itu adalah simbol. Menghancurkan hotel itu dengan para pemimpin Republik dan perwira tinggi Inggris di dalamnya tidak hanya akan memicu perang total; itu akan menjadi sebuah pesan.
Pesan bahwa tidak ada tempat yang aman, tidak ada harapan untuk diplomasi.
“Hotel Yamato kini adalah markas de facto dari komando Inggris di pusat kota,” kata Kusan, seolah membaca pikiran Dirgantara. “Dijaga lebih ketat daripada benteng mana pun. Lapis pertama adalah patroli jip yang berkeliling tanpa henti. Lapis kedua adalah pos-pos senapan mesin di setiap sudut jalan menuju hotel. Lapis ketiga adalah para prajurit Gurkha yang menjaga setiap pintu dan lobi. Dan di atap, aku berani bertaruh, ada penembak jitu mereka. Masuk ke sana sama saja dengan mencoba berenang menyeberangi lautan api.”
Setiap kata Kusan adalah sebuah paku yang ditancapkan ke peti mati harapan mereka.
“Selalu ada jalan,” kata Dirgantara pelan, membuka matanya. Tekad yang dingin mulai menggantikan keputusasaan di matanya. “Setiap benteng, sekuat apa pun, selalu memiliki retakan.”
Ia mendorong tubuhnya yang sakit untuk berdiri dan berjalan tertatih ke arah peta kota yang terbentang di dinding. “Kita tidak bisa masuk dari depan. Kita tidak bisa menyerangnya. Kita juga tidak bisa memperingatkan siapa pun.” Ia menatap rekan-rekannya. “Maka hanya ada satu pilihan tersisa. Kita harus masuk secara diam-diam.”
“Menyelinap?” kata Kusan dengan kalimat yang terdengar seperti sebuah cibiran. “Ke dalam sarang singa? Kita hanya berempat. Dan salah satu dari kita nyaris tidak bisa berjalan.” Ia melirik ke arah kaki Dirgantara yang diperban.
“Kita tidak butuh pasukan,” balas Dirgantara. “Kita hanya butuh satu kesempatan.”