Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #21

Malam Penyergapan di Hotel Yamato

Malam di Surabaya tidak memiliki bintang, hanya parut-parut luka di langit yang ditinggalkan oleh asap dan api. Di bawah selubung kegelapan yang pekat itu, tiga sosok bayangan bergerak meninggalkan keamanan relatif dari gudang bawah tanah, melebur ke dalam labirin gang-gang yang telah menjadi medan pertempuran. Misi mereka: menyusup ke jantung benteng musuh, ke Hotel Yamato yang terlihat angkuh dan mengancam.

Perjalanan itu sendiri adalah sebuah neraka sunyi. Mereka bergerak dari satu bayangan ke bayangan lain, setiap langkah adalah sebuah pertaruhan. Suara sepatu bot patroli Inggris yang berderap di jalan utama terdengar seperti detak jantung monster yang sedang berburu. Dengungan mesin jip yang sesekali lewat memaksa mereka untuk membeku, menahan napas di antara tumpukan-tumpukan sampah yang basah.

Bagi Kusan, ini adalah dunianya. Ia bergerak dengan kepercayaan diri seekor kucing liar, matanya yang tajam di balik kacamata tebalnya membaca setiap sudut gelap, setiap celah di dinding, mengubah kota yang menjadi zona perang ini menjadi peta pribadinya. Namun, malam ini ia merasakan beban yang berbeda. Ia tidak hanya sedang menyelundupkan pesan atau senjata. Ia sedang membimbing dua orang yang nasibnya terasa jauh lebih berat, menuju ke sebuah misi yang ia tahu kemungkinan besar tidak akan ada jalan pulangnya.

Bagi Citra, setiap langkah adalah sebuah pertarungan antara teror dan tekad. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut para penjaga di seberang jalan bisa mendengarnya. Setiap bayangan tampak seperti seorang pembunuh, setiap suara terdengar seperti sebuah ancaman. Namun, ia terus berjalan, tangannya mencengkeram erat tas kameranya. Di dalam tas itu ada kartu persnya, tiket masuknya ke sarang singa. Ia teringat pada wajah-wajah pejuang yang telah ia potret, pada keberanian mereka yang putus asa. Ia berutang pada mereka untuk menceritakan kisah ini.

Dan bagi Dirgantara, setiap langkah adalah sebuah siksaan dan sebuah sumpah. Luka di sisi tubuhnya berdenyut nyeri di setiap gerakan, sebuah pengingat konstan akan pertarungannya dengan Sang Algojo. Namun, rasa sakit fisik itu tenggelam oleh badai emosi di dalam dirinya. Ia teringat pada tatapan mata Sariyah saat ia pergi, sebuah tatapan yang memohonnya untuk kembali. Janji itu kini menjadi api yang membakar di dalam dadanya, mendorongnya maju melewati rasa sakit. Ia adalah perisai bagi mereka semua, dan ia tidak akan pecah. Tidak malam ini.

Akhirnya, Kusan berhenti di depan sebuah lubang got yang tertutup jeruji besi berkarat di sebuah gang yang sangat sempit dan berbau busuk.

“Ini jalan masuk kita,” bisiknya.

Dengan bantuan sebatang linggis kecil, ia mencongkel jeruji itu. Bau yang menyengat dari bawah tanah langsung menyerbu mereka, bau comberan dan pembusukan dari puluhan tahun. Citra menahan napas, mencoba untuk tidak muntah.

“Kau duluan, Bung Hantu,” kata Kusan. “Aku akan menutupnya dari atas.”

Tanpa ragu, Dirgantara menurunkan dirinya ke dalam kegelapan yang pekat. Ia mendarat di atas air setinggi mata kaki yang dingin dan kotor. Kusan dan Citra menyusul, dan jeruji besi itu kembali ditutup di atas mereka, menelan mereka sepenuhnya dalam kegelapan.

Perjalanan di bawah tanah adalah sebuah mimpi buruk. Mereka berjalan membungkuk di dalam terowongan bata yang sempit dan licin, hanya diterangi oleh satu lampu senter kecil milik Kusan yang cahayanya telah diredupkan dengan kain. Dinding-dindingnya berlendir, dan suara decit tikus-tikus yang terganggu menemani setiap langkah mereka.

Luka Dirgantara mulai bereaksi terhadap lingkungan yang kotor dan lembab. Ia bisa merasakan denyutan yang semakin tajam, dan implannya mengirimkan sinyal peringatan tentang risiko infeksi yang meningkat. Ia menggertakkan giginya, mengabaikan sinyal itu. Tidak ada jalan untuk kembali.

Setelah perjalanan yang terasa seperti selamanya, Kusan berhenti. “Di sini,” bisiknya, menyorotkan lampunya ke atas, ke sebuah tangga besi yang berkarat yang menuju ke sebuah penutup lubang bundar. “Dapur Hotel Yamato.”

Satu per satu, mereka memanjat. Mereka muncul di sebuah ruang penyimpanan yang gelap di bawah dapur utama hotel. Udara di sini dipenuhi aroma samar dari sayuran, roti, dan desinfektan. Jauh di atas, mereka bisa mendengar suara denting piring dan percakapan yang teredam dalam bahasa Inggris dan Melayu. Mereka telah berada di dalam perut sang binatang buas.

Rencana pun dimulai. Citra, setelah membersihkan dirinya seadanya, berjalan keluar dari pintu layanan, merapikan pakaiannya, dan memasang senyum seorang jurnalis yang percaya diri. Ia berjalan melewati koridor-koridor yang dijaga ketat, kartu persnya menjadi tamengnya. Setiap anggukan dari seorang perwira Inggris, setiap tatapan curiga dari seorang prajurit Gurkha, adalah sebuah ujian bagi sarafnya. Misinya: mencapai lobi, berpura-pura sedang menunggu wawancara, dan menjadi mata bagi kedua rekannya yang bersembunyi di bawah.

Sementara itu, Dirgantara dan Kusan bergerak di dalam labirin koridor layanan dan ruang bawah tanah. Ini adalah dunia yang berbeda, dunia para pelayan dan kuli, dunia bayangan yang ada tepat di bawah kemegahan hotel di atasnya. Mereka bergerak dari satu ruang penyimpanan ke ruang lain, bersembunyi di balik tumpukan karung tepung atau peti-peti anggur setiap kali mereka mendengar suara langkah kaki mendekat.

Di dalam markas Gema yang sunyi, Sariyah duduk di depan sebuah peta hotel yang digambar dengan kasar, sebuah walkie-talkie berderit di sampingnya. Ia tidak bergerak, matanya terpaku pada peta, seolah dengan kekuatan kehendaknya ia bisa melihat posisi ketiga rekannya. Setiap menit yang berlalu dalam keheningan radio terasa seperti satu jam penyiksaan. Ia telah mengirim mereka, lelaki yang dicintainya, pemuda cerdas yang ia anggap seperti adik, dan perempuan pemberani yang baru saja ia rekrut ke dalam misi bunuh diri.

Lihat selengkapnya