Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #22

Jebakan di Dalam Jebakan

Di dalam kemewahan yang sunyi dari kamar Hotel Yamato, waktu terasa berjalan dengan ritme yang berbeda. Di luar jendela, Surabaya meraung dalam amukan apinya, sebuah simfoni kematian yang terdiri dari ledakan dan tembakan. Namun di dalam sini, di koridor-koridor yang dilapisi karpet tebal, yang terdengar hanyalah detak jantung mereka sendiri yang berdebar kencang. Mereka telah berhasil masuk ke dalam sarang singa, namun kini mereka sadar bahwa keheningan di dalam sarang justru lebih menakutkan daripada auman di luarnya.

Mereka berkumpul di dalam kamar tamu kosong yang telah disiapkan oleh Citra. Ruangan itu mewah, dengan perabotan kayu jati yang dipoles dan seprai sutra yang tampak tak tersentuh. Kemewahan itu terasa seperti sebuah ejekan di tengah kota yang sedang hancur.

“Baiklah,” bisik Dirgantara, suaranya serak. Ia bersandar di dinding, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya luka di sisi tubuhnya setiap kali ia bernapas. “Dari foto Citra, pantulan itu menunjukkan Sang Algojo berada di dekat jendela di sayap timur. Itu adalah area kantor administrasi dan beberapa suite mewah yang kini digunakan oleh para perwira tinggi Inggris. Dia pasti menanamnya di salah satu ruangan itu.”

“Kita tidak bisa memeriksa setiap ruangan,” kata Kusan, matanya yang waspada melirik ke arah pintu. “Patroli Gurkha melewati koridor ini setiap lima belas menit.”

“Kita tidak perlu memeriksa setiap ruangan,” balas Dirgantara. Implannya bekerja, mencoba merasakan anomali di sekelilingnya. Namun, dinding-dinding tebal hotel dan banyaknya perangkat listrik lain di dalamnya menciptakan terlalu banyak gangguan. “Aku harus mendekat. Aku mungkin bisa merasakan energinya jika jaraknya cukup dekat.”

Rencana itu gila. Bergerak di koridor yang dijaga sama saja dengan bunuh diri. Namun, mereka tidak punya pilihan lain.

“Aku akan menciptakan pengalihan,” kata Citra tiba-tiba. Semua mata menoleh padanya. “Aku akan pergi ke bar di lobi. Aku akan berpura-pura mabuk dan membuat keributan kecil. Menjatuhkan nampan, berdebat dengan bartender. Itu mungkin bisa menarik perhatian patroli selama beberapa menit. Memberimu jendela waktu.”

“Tidak,” kata Dirgantara dan Sariyah nyaris bersamaan dari dua tempat yang berbeda. Di dalam kamar hotel, Dirgantara menatap Citra dengan tajam. Di markas Gema, Sariyah mencengkeram walkie-talkie-nya lebih erat. “Itu terlalu berbahaya.”

“Lebih berbahaya daripada duduk diam di sini menunggu bom itu meledak?” balas Citra, api keras kepala menyala di matanya. “Kalian menyelamatkan nyawaku di alun-alun. Sekarang giliranku untuk berguna.”

Sebelum Dirgantara sempat berdebat, Citra telah berbalik dan berjalan keluar dari kamar, senyum gugup namun penuh tekad tersungging di bibirnya. Dirgantara menatap Kusan. Mereka tahu mereka tidak punya pilihan selain memercayainya.

Beberapa menit kemudian, suara pecahan kaca yang keras terdengar dari lantai bawah, diikuti oleh teriakan-teriakan dalam bahasa Inggris. Pengalihan perhatian telah dimulai.

“Sekarang,” desis Dirgantara.

Ia dan Kusan menyelinap keluar dari kamar, bergerak cepat dan tanpa suara di sepanjang koridor yang kini sepi. Setiap pintu yang mereka lewati terasa seperti sebuah ancaman. Setiap derit papan lantai terdengar seperti lonceng alarm. Dirgantara memejamkan mata sesaat, mencoba memfokuskan inderanya yang disempurnakan. Ia merasakan dengungan listrik dari lampu-lampu, emisi panas dari tubuh-tubuh di dalam kamar, dan … di sana. Sesuatu yang lain. Sesuatu yang samar, namun terasa asing. Sebuah emisi energi berfrekuensi tinggi yang stabil, yang tidak seharusnya ada di zaman ini.

“Ruangan 207,” bisiknya pada Kusan. “Di dalam sana.”

Pintu itu terkunci.

Kusan, dengan keahliannya, berhasil membukanya dalam beberapa detik menggunakan seutas kawat tipis.

Mereka masuk ke dalam sebuah suite mewah yang kosong dan gelap. Tirainya tertutup rapat. Dirgantara bisa merasakan emisinya semakin kuat. Ia datang dari arah sebuah lemari pakaian besar yang terbuat dari kayu jati.

Dengan Kujang Naga di tangan, ia memberi isyarat pada Kusan untuk bersiap. Perlahan, ia membuka pintu lemari itu.

Di dalamnya, tergantung beberapa setelan jas yang mahal. Namun, di dinding belakang lemari, sebuah panel kayu telah dilepaskan, memperlihatkan sebuah rongga tersembunyi. Dan di dalam rongga itu, tergeletak sebuah perangkat yang membuat darah mereka serasa membeku.

Itu adalah sebuah kotak logam hitam, ukurannya sedikit lebih besar dari yang ia temukan di tubuh para agen. Di permukaannya, beberapa lampu kecil berkedip-kedip dalam ritme yang stabil. Kabel-kabel yang rumit menghubungkannya ke sebuah paket peledak plasma terkompresi. Sebuah bom Lembaga.

“Kita berhasil …” bisik Kusan, kelegaan yang luar biasa terdengar dalam suaranya. Mereka menemukannya.

Dirgantara tidak merasakan kelegaan. Sebaliknya, firasat buruk yang sejak tadi mengganggunya kini semakin kuat. Ia mendekati bom itu, matanya yang tajam memindai setiap detail.

Lihat selengkapnya