Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #23

Pengorbanan Seorang Kawan

Tidak ada suara ledakan. Itu adalah hal yang paling mengerikan. Di benak Dirgantara, yang terbiasa dengan gemuruh artileri dan ledakan granat konvensional, kehampaan suara dari granat plasma itu adalah sebuah anomali yang memekakkan telinga. Yang ada hanyalah kilatan cahaya biru-putih yang begitu dahsyat hingga menembus kelopak matanya yang terpejam, diikuti oleh gelombang kejut energi murni yang merobek udara.

Gelombang itu menghantamnya, melemparkan tubuhnya yang sudah terluka ke dinding dengan kekuatan brutal. Tulang rusuknya yang retak menjerit protes, dan kegelapan kembali merayap di tepi pandangannya. Namun, bahkan saat kesadarannya memudar, satu gambaran terakhir terpatri di dalam retinanya, sebuah gambar yang akan menghantuinya selamanya: sosok kurus Bung Kusan yang melompat ke arah cahaya, memeluk kematian itu dengan tubuhnya sendiri, menjadi perisai manusia antara neraka dan dunia.

Di koridor, Citra merasakan pintu baja di hadapannya melengkung ke luar seperti kertas timah, menghantamnya dengan kekuatan seekor banteng. Ia terlempar ke belakang, kepalanya membentur dinding, dan dunianya lenyap dalam keheningan yang tiba-tiba.

Di dalam suite yang kini porak-poranda, Sang Algojo tersungkur. Ledakan plasma jarak dekat itu, meskipun sebagian besar energinya telah diserap oleh tubuh Kusan, masih cukup kuat untuk membuat sistem pada eksoskeleton tempurnya mengalami kelebihan beban sesaat. Alarm peringatan berbunyi nyaring di dalam helmnya, dan pandangan termalnya berkedip-kedip kacau.

Ia bangkit dengan sebuah geraman frustrasi. Sebuah tindakan yang tidak logis. Sebuah pengorbanan diri. Konsep itu begitu primitif, begitu tidak efisien, hingga tidak ada dalam simulasi tempur Lembaga. Di matanya, tindakan Kusan bukanlah sebuah kepahlawanan; itu adalah sebuah error dalam sistem, sebuah variabel sentimental yang mengganggu.

Ia mengabaikan titik di lantai yang kini hanya menyisakan siluet hangus dan bau ozon yang tajam, satu-satunya sisa dari eksistensi Bung Kusan. Matanya kini tertuju pada target utamanya. Dirgantara. Tergeletak tak berdaya di antara puing-puing sofa yang hancur.

Sang Algojo berjalan mendekat, pisau vibronya kembali berdengung, siap untuk menyelesaikan misinya, untuk menghapus anomali ini dari garis waktu. Ia mengangkat pisaunya, membidiknya tepat di jantung Dirgantara.

Saat itulah, neraka dari dunia luar menerobos masuk.

Rentetan tembakan senjata otomatis memecahkan sisa-sisa kaca jendela suite, peluru-peluru menghujani dinding di sekitar Sang Algojo.

Bukan tembakan acak dari para pejuang.

Tembakan ini terarah, disiplin, dan mematikan.

Sariyah telah datang.

Di markas Gema, saat walkie-talkie di tangannya tiba-tiba menjadi sunyi setelah teriakan panik Citra, Sariyah tidak diam saja. Selama tiga puluh tujuh tahun, ia telah belajar bahwa keraguan adalah hal yang tidak boleh dimiliki oleh seorang komandan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia tahu itu adalah skenario terburuk.

“Semua unit siaga di sekitar Yamato, masuk!” perintahnya, suaranya dingin dan tajam, memotong semua keraguan di markas. “Aku tidak peduli pada patroli Inggris, aku tidak peduli pada penembak jitu. Buka jalan! Selamatkan mereka! Itu perintah!”

Ia tidak hanya memberi perintah.

Ia meraih sebuah senapan mesin ringan Sten Gun dari rak senjata, dan ia memimpin serangan itu sendiri.

Lihat selengkapnya