Duka adalah sebuah jangkar, tetapi ia juga bisa menjadi sebuah kompas. Di dalam keheningan gudang bawah tanah yang kini terasa seperti sebuah makam, tim kecil itu berkabung. Ketiadaan Bung Kusan terasa seperti sebuah lubang hitam, menyedot semua cahaya dan kehangatan dari ruangan.
Sariyah, dengan wajah sekeras baja yang ditempa dalam api kesedihan, mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan rencana mereka, namun setiap baris di peta kini seolah diwarnai oleh darah pengorbanan kawan mereka. Citra duduk di sudut, membersihkan lensa kameranya berulang-ulang dengan gerakan mekanis, sebuah ritual untuk menenangkan tangannya yang tak mau berhenti gemetar, pikirannya terus memutar ulang kilatan cahaya biru yang telah menelan seorang pahlawan.
Dirgantara adalah yang paling sunyi. Ia duduk bersandar di dinding, Kujang Naga tergeletak di pangkuannya. Ia tidak merasakan lagi sakit fisik dari luka-lukanya. Yang ia rasakan hanyalah sebuah amarah yang dingin dan berat, amarah yang begitu murni hingga terasa tenang. Ia telah gagal melindungi Kusan. Utang darah itu kini menjadi satu-satunya mata uang yang ia miliki, dan ia bersumpah pada arwah pemuda kutu buku itu bahwa ia akan menagihnya hingga lunas.
Saat itulah, kurir Gema yang bertugas sebagai operator radio darurat masuk dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat.
“Mbak Yu … ada pesan. Masuk melalui frekuensi darurat kita. Terenkripsi dengan cara yang … aneh. Bukan kode kita.”
Sariyah segera bangkit. Di atas meja operator, sebuah mesin telegraf rakitan berderit, menerjemahkan serangkaian sinyal digital yang mustahil. Pesan itu sangat singkat, ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna dan tanpa emosi.
“Untuk Sang Hantu. Pionmu yang berani telah dikorbankan. Sebuah langkah yang sentimental dan sia-sia. Jika kau ingin menghentikan jatuhnya lebih banyak pion, temui aku. Sendirian. Di tempat di mana bendera pernah berdiri. Saat bulan mencapai puncaknya. Permainan ini membosankan tanpamu.”
Tidak ada nama, tidak ada tanda tangan. Namun, setiap kata memancarkan arogansi dingin dari Sang Algojo. Itu bukan hanya sebuah tantangan. Itu adalah sebuah ejekan. Ia menggosokkan garam di atas luka mereka yang paling segar.
“Jangan pergi,” kata Sariyah seketika, suaranya tajam. “Ini jebakan. Tentu saja ini jebakan. Dia akan menunggumu dengan seratus penembak jitu.”
“Aku tahu,” jawab Dirgantara pelan, matanya tidak pernah lepas dari pesan itu.
“Lalu mengapa kau bahkan mempertimbangkannya?!” seru Sariyah, keputusasaan merayap dalam suaranya. “Kusan sudah pergi. Aku tidak akan kehilanganmu juga!”
Dirgantara akhirnya mengangkat kepalanya, dan menatap lurus ke mata Sariyah. Di matanya, tidak ada lagi keraguan atau kesedihan. Yang ada hanyalah sebuah kepastian yang mengerikan. “Karena inilah satu-satunya cara,” katanya. “Selama dia dan aku masih berada di papan catur yang sama, dia akan terus mengorbankan pion-pion lain untuk memancingku keluar. Dia akan memburu kalian satu per satu. Dia akan terus menyalakan api di kota ini hingga tidak ada lagi yang tersisa. Ini bukan lagi tentang melindungi Soekarno atau Hatta. Ini antara aku dan dia. Hantu melawan hantu. Dan ini harus berakhir malam ini.”
“Kau tidak akan sendirian,” kata Sariyah dengan keras kepala. “Aku akan mengumpulkan tim …”
“Tidak,” potong Dirgantara, suaranya kini mengandung otoritas yang bahkan Sariyah pun tidak bisa membantahnya. “Dia memintaku datang sendirian. Jika dia melihat satu bayangan saja yang mengikutiku, dia akan lenyap, dan pertarungan akan kembali ke jalanan, di mana orang-orangmu yang akan menjadi korbannya. Ini adalah pertarunganku, Sariyah. Ini adalah tugasku.”
Ia berjalan mendekat, dan untuk sesaat, ia membiarkan dirinya melakukan sesuatu yang telah lama ia tahan. Ia mengulurkan tangannya dan dengan lembut menyentuh pipi Sariyah.
“Tugasmu adalah memimpin mereka,” bisiknya. “Tugasmu adalah memastikan bahwa jika aku gagal, perjuangan ini akan tetap berlanjut.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Ia mengambil Kujang Naga, menyelipkannya di punggungnya. Ia menatap Citra dan mengangguk singkat. Lalu ia berjalan menuju pintu keluar.
“Dirgantara!” panggil Sariyah, suaranya pecah.