Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #25

Kemenangan Berdarah

Sang Algojo, mesin pembunuh yang sempurna itu, terbaring diam dengan posisi yang ganjil, lehernya patah. Matanya yang dingin kini menatap kosong ke arah asap yang membumbung, ekspresi kaget yang abadi terukir di wajahnya yang biasa saja. Ia telah kalah. Bukan oleh teknologi superior atau strategi yang lebih brilian, melainkan oleh sebuah tindakan putus asa yang lahir dari hati seorang manusia yang menolak untuk hancur.

Dirgantara jatuh berlutut di sampingnya, seluruh kekuatan seolah terkuras dari tubuhnya. Ia menatap tangannya sendiri. Tangan yang sama yang pernah memegang pena kalam untuk menulis syair, tangan yang sama yang pernah disentuh dengan lembut oleh Sariyah, kini adalah tangan seorang pembunuh.

Ia telah memenangkan duelnya.

Ia telah membayar utang darahnya untuk Kusan.

Namun, tidak ada perasaan kemenangan. Tidak ada kelegaan. Yang ada hanyalah sebuah kekosongan yang dingin dan hampa, yang gaungnya lebih memekakkan daripada pekikan perang di bawah sana. Ia menatap ke arah kota yang terbakar, lautan api yang diciptakan oleh lelaki yang kini terbaring mati di kakinya. Ratusan, mungkin ribuan, nyawa telah melayang malam ini. Dan kemenangannya di atas atap ini terasa begitu kecil, begitu tidak berarti di hadapan skala tragedi yang begitu besar.

Ia telah memenangkan duelnya. Namun ia merasa baru saja kalah dalam perang yang lebih besar, perang melawan sisi gelap di dalam dirinya sendiri.

Saat itulah, sebuah suara serak dan terdistorsi terdengar, nyaris seperti bisikan statik.

“Menarik …”

Jantung Dirgantara serasa berhenti berdetak. Ia berbalik dengan cepat, Kujang Naga kembali terangkat di tangannya yang gemetar. Sang Algojo. Ia masih hidup. Matanya masih menatap kosong, namun dari sebuah vokoder kecil di kerah zirahnya, suaranya yang sekarat masih bisa terdengar, sebuah gema terakhir dari kesadarannya yang sedang padam.

“Kau … bertarung dengan emosi … Pramudya …” desis suara itu. “Aku … meremehkan … variabel itu.”

Dirgantara berlutut di sampingnya, untuk mendengar kata-kata terakhir lawannya.

“Sudah berakhir, Algojo,” kata Dirgantara.

Sebuah suara tawa yang serak dan mengerikan keluar dari vokoder itu. “Berakhir? Oh, tidak … ini tidak akan pernah berakhir.” Mata Sang Algojo yang mulai meredup seolah menemukan secercah kekuatan terakhir. “Kau pikir … ini adalah rencanaku satu-satunya? Kau pikir … aku akan menaruh semua harapanku … pada seorang pangeran sentimental seperti Arung Palakka … atau pada satu tembakan senapan?”

Tawa itu membuat darah Dirgantara serasa membeku.

“Saat kau sibuk … bermain-main menjadi pahlawan di sini …” lanjut Kaelan, kini menyebut dirinya dengan nama aslinya, sebuah pengakuan terakhir. “Rencanaku yang sesungguhnya … sudah berjalan di Somba Opu.”

Lihat selengkapnya