Perjalanan menuruni Hotel Yamato adalah sebuah perjalanan turun dari surga kemenangan yang pahit ke dalam neraka realitas yang brutal. Setiap langkah adalah sebuah siksaan bagi Dirgantara. Tubuhnya, yang telah ia paksa hingga melampaui batas kemampuannya, kini menuntut bayarannya. Setiap sentakan saat para pejuang Gema memapahnya menuruni tangga darurat yang gelap mengirimkan gelombang rasa sakit yang menyengat dari luka tusukan di sisinya. Kesadarannya timbul tenggelam seperti nyala lilin di tengah badai.
Namun, rasa sakit fisik itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gema kata-kata terakhir Sang Algojo yang terus terngiang di benaknya. Racun yang sesungguhnya sudah berada di dalam aliran darah. Kata-kata itu adalah sebuah virus yang merayap masuk ke dalam jiwanya, mengubah kemenangannya yang berdarah menjadi sebuah kekalahan yang jauh lebih mengerikan.
Ia telah memenangkan duel, namun ia baru saja menyadari bahwa ia telah kalah dalam sebuah perang yang bahkan ia tidak tahu sedang terjadi.
Sariyah berjalan di sampingnya, satu tangannya memegang Sten Gun dengan waspada, tangan lainnya tak pernah jauh dari lengan Dirgantara, seolah takut jika ia melepaskannya, lelaki itu akan lenyap menjadi debu. Wajahnya adalah topeng ketenangan seorang komandan, namun di dalam hatinya berkecamuk badai. Ia melihat Dirgantara, pahlawannya, penyelamatnya, kini begitu rapuh, matanya yang biasanya tajam kini menatap kosong, terperangkap dalam sebuah kengerian yang tak bisa ia lihat. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Dirgantara di atap tadi, “kita belum menang sama sekali” namun ia bisa merasakan bobot dari kata-kata itu dalam keheningan Dirgantara yang mencekam.
Citra mengikuti di belakang, kameranya tergantung di leher, terasa dingin dan berat. Ia baru saja mengabadikan sebuah momen mitologis: duel dua hantu di atas atap neraka. Namun kini, saat ia melihat sang pahlawan dipapah turun, berlumuran darah dan tampak hancur, ia menyadari bahwa ini bukanlah sebuah mitos. Ini adalah sebuah tragedi manusia. Harga dari kemenangan ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa ditangkap oleh lensa kameranya.
Mereka tidak bisa keluar melalui lobi. Pertempuran antara tim Gema dan para penjaga Gurkha telah menarik terlalu banyak perhatian. Mereka menemukan sebuah ruang penyimpanan anggur yang gelap dan lembab, dan memutuskan untuk bersembunyi di sana, menunggu hingga kekacauan di luar sedikit mereda.
Di dalam keheningan yang berbau anggur basi dan tanah basah itulah, Dirgantara akhirnya berbicara. Ia bersandar di dinding yang dingin, Sariyah berlutut di sampingnya, mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan sepotong kain.
“Dia memberitahuku sesuatu … sebelum dia mati,” bisik Dirgantara, suaranya serak, matanya yang demam menatap kosong ke kegelapan.
Sariyah dan Citra mencondongkan tubuh mereka, mendengarkan dengan napas tertahan.
“Sang Algojo … dia hanyalah garda depan,” lanjut Dirgantara. “Dia adalah badainya. Keras, terlihat, dan dirancang untuk menciptakan kehancuran dan menarik semua perhatian kita. Sementara kita sibuk memadamkan apinya, mencoba menyelamatkan para pemimpin, mencoba menghentikan bomnya … mereka telah menanam racun.”
“Racun apa?” tanya Sariyah lembut.