Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #27

Api Kemerdekaan

Di dalam keheningan gudang anggur yang gelap, kemenangan terasa begitu jauh dan mustahil. Mereka telah selamat, tetapi mereka terperangkap di dalam perut monster yang terluka. Di luar, Hotel Yamato masih menjadi zona perang, dengan patroli-patroli Inggris yang panik menyisir setiap koridor, mencari para penyusup yang telah memenggal kepala komando bayangan mereka.

“Kita harus segera bergerak,” bisik Sariyah, suaranya yang tegar menjadi jangkar bagi mereka semua. Ia dengan cepat memeriksa luka Dirgantara. Balutannya basah oleh darah segar, dan wajah lelaki itu pucat pasi di bawah cahaya redup. “Kau bisa berjalan?”

Dirgantara mencoba untuk bangkit, bersandar pada rak-rak anggur yang reyot. Setiap otot di tubuhnya menjerit. “Aku harus bisa,” jawabnya, suaranya serak. Ia menatap Sariyah, lalu ke Citra yang masih tampak terguncang. Ia tahu beban untuk keluar dari neraka ini ada di pundaknya.

Perjalanan keluar dari hotel adalah sebuah versi terbalik dari infiltrasi mereka yang senyap. Kini, setiap langkah adalah sebuah pertaruhan yang gegabah, setiap koridor adalah sebuah ladang ranjau. Mereka kembali ke labirin bawah tanah, namun kali ini, Dirgantara bukanlah sang pemburu yang waspada; ia adalah beban yang harus dilindungi. Ia bersandar berat pada bahu seorang pejuang Gema muda yang wajahnya tidak ia kenali, dan kekosongan di sampingnya terasa seperti luka baru yang menganga.

Sariyah memimpin di depan, Sten Gun-nya teracung, matanya yang tajam memindai setiap bayangan. Citra di belakang, kameranya kini terasa seperti sebongkah timah yang tak berguna, matanya terus melirik ke belakang, seolah takut jika Sang Algojo akan bangkit dari kematiannya dan mengejar mereka.

Mereka akhirnya berhasil kembali ke jalanan melalui saluran air yang sama, muncul ke dalam sebuah kota yang telah berubah. Pertempuran masih berkecamuk, namun intensitasnya telah sedikit menurun. Kabar tentang hancurnya komando Inggris di Hotel Yamato dan mundurnya beberapa kapal perang dari pelabuhan telah menyebar seperti api liar di antara para pejuang. Moral musuh telah retak. Di sisi lain, moral arek-arek Suroboyo melambung tinggi. Mereka merasa telah memenangkan sesuatu yang mustahil.

Saat mereka tiba kembali di markas Gema, disambut oleh wajah-wajah cemas, Dirgantara akhirnya membiarkan tubuhnya menyerah. Ia ambruk, kesadarannya lenyap ditelan oleh lautan rasa sakit dan kelelahan.

Ia terbangun oleh suara yang paling ia takuti sekaligus paling ia rindukan: suara statik dari sebuah radio. Ia membuka matanya. Ia berada di dipan yang sama di mana ia pertama kali dirawat, luka-lukanya telah dibersihkan dan diperban ulang. Sariyah duduk di sampingnya, menyeka dahinya yang berkeringat dengan kain basah.

“Berapa lama aku …?”

“Hampir satu hari penuh,” jawab Sariyah lembut. “Kau butuh istirahat.”

Dari radio di sudut ruangan, terdengar suara seorang penyiar yang melaporkan situasi terkini dengan nada yang tegang. Pertempuran telah mereda menjadi baku tembak sporadis. Gencatan senjata yang rapuh kembali terjalin, kali ini didasari oleh rasa syok dan kelelahan dari kedua belah pihak. Dan yang terpenting: rombongan Presiden selamat. Mereka telah dievakuasi ke Kantor Gubernur di seberang sungai, yang kini telah diubah menjadi benteng Republik.

“Jadi, kita berhasil?” bisik Dirgantara.

Sariyah mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Kau berhasil, Dirgantara. Sang Algojo telah lenyap. Ancaman langsung terhadap Presiden telah hilang.”

Lihat selengkapnya