Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #28

Selamat Tinggal, Surabaya

Di dalam gudang bawah tanah Gema, keheningan terasa berat sekali. Setiap sudut ruangan seolah dihantui oleh bayangan Bung Kusan, tawanya yang gugup, kacamatanya yang sedikit miring, keberaniannya yang tak terduga. Pengorbanannya telah menjadi sebuah legenda sunyi di antara mereka, sebuah luka yang mereka bawa bersama, sebuah sumpah yang mengikat mereka lebih erat daripada darah.

Dirgantara pulih dengan kecepatan yang tidak wajar, sebuah fakta yang ia coba sembunyikan di balik balutan perban yang tebal. Nanobot di dalam tubuhnya telah bekerja tanpa henti kembali, merajut kembali otot yang robek dan memperbaiki jaringan yang hangus. Namun, tidak ada teknologi di abad ke-21 yang bisa memperbaiki kekosongan yang ditinggalkan oleh kehilangan seorang kawan.

Ia dan Sariyah menjadi dua kutub dari sebuah kesedihan yang sama. Mereka jarang berbicara tentang apa yang terjadi di hotel itu. Mereka bisa melihatnya di mata satu sama lain. Di tengah kesibukan mengoordinasikan bantuan medis dan jalur pasokan bagi para pejuang yang tersisa, mereka akan saling berpandangan sejenak di seberang ruangan yang ramai, sebuah komunikasi tanpa kata yang penuh dengan pemahaman dan kepedihan bersama. Ikatan di antara mereka, yang ditempa kembali dalam api dan duka, kini telah menjadi sesuatu yang begitu dalam, begitu fundamental, hingga terasa menakutkan.

Citra, di sisi lain, menyalurkan dukanya melalui lensanya. Ia tidak lagi hanya seorang jurnalis; ia telah menjadi sejarawan visual dari perang rahasia mereka. Ia memotret kacamata Kusan yang retak, yang diletakkan oleh Sariyah di atas sebuah peti kosong seperti sebuah relik suci. Ia memotret Dirgantara yang sedang duduk dalam diam, Kujang Naga tergeletak di pangkuannya, wajahnya adalah sebuah lukisan dari kelelahan seribu tahun. Dan ia memotret Sariyah, yang berdiri di depan peta, bayangannya yang tegar tampak begitu kesepian. Foto-fotonya tidak lagi hanya tentang perang; kini foto-fotonya bercerita tentang harga dari sebuah kemenangan.

Kemenangan itu sendiri, meskipun pahit, terasa nyata di jalanan Surabaya. Dengan tewasnya Sang Algojo dan hancurnya jaringan komando bayangan Inggris, serangan Sekutu kehilangan presisi dan keganasannya. Pertempuran mereda menjadi gencatan senjata yang rapuh. Pidato Soekarno, yang berhasil disiarkan berkat pengorbanan mereka, telah menyalakan api perlawanan di seluruh Jawa dan Sumatra. Surabaya tidak lagi berjuang sendirian. Ia telah menjadi sebuah simbol, sebuah mercusuar.

Misi utama mereka, secara teknis, telah berhasil.

Dirgantara tahu, keberhasilan itu adalah isyarat baginya untuk pergi.

Keputusan itu datang bukan sebagai sebuah pemikiran logis, melainkan sebagai sebuah rasa sakit yang tumpul di dalam dadanya. Ia adalah seorang anomali, seorang hantu. Tinggal lebih lama di satu tempat hanya akan meninggalkan jejak temporal yang lebih dalam, yang bisa dilacak oleh Lembaga. Dan yang lebih penting, tinggal di sini, di samping Sariyah, berarti membangun sebuah istana di atas fondasi kebohongan. Ia tidak bisa memberikan perempuan itu masa depan yang normal. Ia tidak bisa menceritakan kebenarannya yang mustahil. Mencintainya berarti membahayakannya. Setelah kehilangan Kusan, itu adalah sebuah risiko yang tidak akan pernah ia ambil lagi.

Ia memilih malam ketiga setelah kesembuhannya. Malam itu, pertempuran telah sepenuhnya berhenti. Suasana di markas Gema sedikit lebih tenang. Para pejuang muda berbagi cerita dengan suara pelan, beberapa bahkan tertawa, sebuah suara yang terdengar aneh dan indah setelah berminggu-minggu hanya mendengar jeritan dan ledakan.

Ia menemukan Sariyah sendirian di ruang cetak yang sunyi, tempat di mana ia pertama kali melihat perempuan itu di zaman ini. Sariyah sedang berdiri di depan sebuah mesin cetak tua, jemarinya menelusuri huruf-huruf timah yang dingin dengan tatapan menerawang, seolah sedang menyentuh gema dari masa lalunya, masa-masa perjuangannya bersama Tirto.

“Mesin ini,” kata Sariyah pelan, tanpa menoleh, seolah ia bisa merasakan kehadiran Dirgantara. “Terkadang aku merasa seluruh hidupku terikat pada bau tinta dan derit mesin ini.”

Dirgantara berjalan mendekat, berhenti di sisinya. “Kau telah mengubahnya dari mesin yang mencetak kata-kata menjadi mesin yang mencetak harapan, Sariyah.”

Sariyah akhirnya menoleh, dan senyum sedih tersungging di bibirnya. “Kau akan pergi lagi, bukan?”

Itu bukan sebuah pertanyaan.

Itu adalah sebuah pernyataan.

Sebuah penerimaan yang menyakitkan.

Dirgantara tidak sanggup berbohong padanya. Ia hanya bisa mengangguk pelan. “Aku harus.”

“Karena Sang Algojo telah mati, tapi perang rahasiamu belum berakhir?” tanya Sariyah, mengulangi kembali narasi yang telah Dirgantara ciptakan untuk mereka.

Lihat selengkapnya