Jika perjalanan ke masa lalu terasa seperti sebuah kelahiran paksa, maka perjalanan kembali ke masa depan adalah sebuah kematian yang lambat. Dirgantara merasakan jiwanya direnggut dari kehangatan api revolusi, ditarik melintasi koridor waktu yang dingin dan tak berbentuk, di mana gema dari pekikan “Merdeka!” dan bisikan terakhir Sariyah perlahan-lahan memudar, digantikan oleh kehampaan yang steril dan memekakkan.
Ia terwujud dengan sentakan yang brutal di atas lantai beton yang dingin dan mati. Ia jatuh berlutut di tengah stasiun kereta maglev bawah tanah yang telah menjadi rumah sekaligus penjaranya di tahun 2070. Udara di sini terasa begitu tipis, begitu artifisial, berbau debu, ozon dari peralatan darurat, dan yang paling menyiksa dari semuanya, berbau kesendirian.
Untuk beberapa saat, ia hanya bisa terengah-engah, membiarkan gelombang kejut temporal dan emosional menghantamnya tanpa ampun. Wajah Sariyah saat mereka berpisah terlintas di benaknya, begitu jelas, begitu nyata. Kehangatan tangannya, ketegaran di matanya yang berkaca-kaca. Lalu bayangan itu digantikan oleh kilatan cahaya biru dari granat plasma, oleh sosok Kusan yang lenyap menjadi abu.
Sebuah isak tangis yang kering dan menyakitkan lolos dari tenggorokannya. Ia telah memenangkan pertempuran, tetapi ia telah meninggalkan kepingan-kepingan hatinya tersebar di sepanjang garis waktu, seperti pecahan-pecahan kaca patri dari gereja yang hancur itu. Ia adalah seorang pahlawan yang tak memiliki rumah untuk kembali.
Namun, disiplin seorang agen, yang telah ditempa oleh pengkhianatan dan penderitaan, akhirnya bangkit dari dalam reruntuhan jiwanya. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Ada kebenaran yang harus dipastikan.
Ia berjalan tertatih menuju pusat stasiun yang terlantar, menuju pos komando daruratnya. Panel-panel holografik yang retak dan kabel-kabel yang menjalar seperti akar pohon artifisial menyala dengan cahaya biru yang redup saat ia mendekat. Sarang pemberontak ini terasa lebih seperti sebuah makam.
Tugas pertamanya adalah yang paling berbahaya, sebuah ritual yang kini terasa seperti menyentuh luka bakar dengan sengaja: menyusup kembali ke jaringan data Lembaga. Ia menghubungkan antarmuka saraf di pelipisnya, merasakan sengatan dingin saat pikirannya terhubung dengan dunia digital yang sunyi.
Ia harus tahu.
Ia harus melihat hasil dari semua pengorbanan itu.
Apakah darah Kusan, air mata Sariyah, dan keberanian arek-arek Suroboyo benar-benar telah mengubah sesuatu?
Sebuah celah kecil di dalam protokol arsip lama berhasil ia tembus. Data garis waktu terbaru mengalir seperti sungai cahaya biru ke dalam proyektor holografiknya yang berkedip-kedip.
Di tengah ruangan yang gelap, sebuah peta tiga dimensi dari Kepulauan Nusantara terbentuk.
Ia menahan napas.
Matanya langsung mencari titik waktu yang paling penting: 1945.
Titik itu tidak lagi berwarna merah darurat. Titik itu kini bersinar dengan warna hijau yang stabil. Ia berhasil. Ia memperbesar data-data yang terlampir. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia aman. Pertempuran Surabaya, meskipun tercatat sebagai salah satu pertempuran dekolonisasi paling berdarah dalam sejarah, berakhir dengan kemenangan strategis bagi pihak Republik. Pidato Soekarno yang berhasil disiarkan telah membakar semangat perlawanan di seluruh Nusantara, membuatnya mustahil bagi Sekutu untuk memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda secara penuh. Garis waktu kini mengalir menuju sebuah Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Sebuah gelombang kelegaan yang luar biasa membanjiri Dirgantara, begitu kuat hingga kakinya yang terluka terasa lemas dan ia harus berpegangan pada konsol.