Di dalam keheningan abadi stasiun kereta bawah tanah yang terlantar, Dirgantara menemukan sebuah ritme baru. Ritme seorang prajurit yang sedang menunggu perang berikutnya. Ia tidak lagi membiarkan dirinya tenggelam dalam duka. Kesedihan atas kehilangan Kusan dan perpisahannya dengan Sariyah tidak ia buang, melainkan ia tempa menjadi baja di dalam jiwanya, mengubahnya dari sebuah beban menjadi sebuah perisai.
Hari-harinya diisi dengan persiapan yang dingin dan metodis. Ia merawat luka-lukanya dengan disiplin seorang tabib, membersihkan dan membalutnya kembali, merasakan dengan kepuasan yang getir bagaimana nanobot di dalam tubuhnya perlahan-lahan merajut kembali setiap serat otot yang robek.
Ia berlatih di peron yang luas dan kosong, di bawah cahaya redup dari lampu-lampu darurat, ia bergerak dalam tarian sunyi. Ia mengulangi kuda-kuda yang diajarkan Ratna, merasakan bagaimana keseimbangan mengalir dari pusat tubuhnya. Ia melatih gerakan-gerakan efisien yang telah menyelamatkan nyawanya di gang-gang gelap Batavia. Ia bukan lagi hanya seorang petarung naluriah; ia adalah sebuah senjata yang sedang mengasah dirinya sendiri.
Namun, perang terbesarnya terjadi di depan panel-panel holografik. Ia tahu bahwa Lembaga tidak akan berhenti. Ia tahu bahwa kata-kata terakhir Sang Algojo adalah sebuah ramalan. Dengan firasat buruk sebagai kompasnya, ia menyelami data-data curian tentang pertengahan abad ke-20. Ia membaca tentang Perang Dingin, tentang pertarungan ideologi global antara blok Barat dan blok Komunis. Dan ia melihat dengan ngeri bagaimana Nusantara yang baru lahir itu telah menjadi salah satu papan catur utama dalam permainan raksasa itu.
Ia membaca tentang ketegangan-ketegangan yang telah diramalkan oleh Sang Algojo: gesekan antara tentara nasionalis yang semakin kuat dan partai komunis yang memiliki basis massa yang besar. Ia melihat bagaimana setiap pihak memiliki pelindung internasionalnya sendiri, bagaimana setiap insiden kecil bisa dipelintir menjadi sebuah krisis ideologis. Ia melihat sebuah tumpukan jerami kering yang begitu besar, yang hanya menunggu satu percikan api untuk membakar seluruh negeri. Dan ia tahu, Lembaga akan dengan senang hati menyediakan percikan api itu.
Saat ia sedang tenggelam dalam analisisnya, sebuah notifikasi sunyi muncul di sudut konsolnya. Sebuah alarm yang tidak pernah berbunyi sebelumnya. Bukan alarm intrusi dari Lembaga. Ini adalah sebuah sinyal tangan, sebuah ketukan rahasia di pintu digital sarangnya. Paket data itu terenkripsi dengan arsitektur yang ia kenali, arsitektur organik yang meniru pola-pola alam. Gema.
Jantungnya berdebar kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka saluran komunikasi yang aman. Itu adalah sebuah pesan video. Wajah yang muncul di layar holografik membuat napasnya tercekat.
Itu adalah Daeng Ratu.
Namun, ini bukanlah Daeng Ratu yang ia tinggalkan di antara puing-puing Somba Opu. Ia tampak berada di geladak sebuah kapal, mungkin sebuah kapal layar, dengan langit yang kelabu dan suara angin yang menderu terdengar samar-samar di latar belakang. Ia seolah sedang berada dalam pelarian.
“Kerja bagus di Surabaya, Dirgantara,” kata Daeng Ratu, suaranya yang serak dan lemah masih mengandung kehangatan dan wibawa yang Dirgantara kenal betul. “Fase 5 berhasil kita amankan. Kau telah memberi kami ruang bernapas yang sangat kami butuhkan.”
“Daeng …” bisik Dirgantara, tenggorokannya tercekat oleh emosi. Melihatnya lagi, setelah semua yang terjadi, terasa seperti sebuah keajaiban yang menyakitkan.
Daeng Ratu tersenyum tipis, sebuah senyum yang sarat akan kesedihan.
“Aku tidak punya banyak waktu. Lembaga telah meningkatkan pengawasan mereka setelah kekalahan mereka di Surabaya. Mereka tahu ada pemain lain. Menghubungimu seperti ini … sangat berisiko.” Wajahnya menjadi lebih serius. “Tapi aku harus memberitahumu. Lembaga sudah memulai Fase 6, rencana mereka yang paling brutal dan paling licik. Mereka tidak lagi mencoba membajak kelahiran Indonesia dari belakang layar. Mereka akan mencoba memastikan ia mati saat masih bayi.”
Jantung Dirgantara mulai berdebar kencang.