Layar holografik itu menjadi hitam, menelan wajah Daeng Ratu yang menua dan menyisakan Dirgantara di dalam keheningan yang absolut. Namun, keheningan itu tidak lagi kosong. Ia kini dipenuhi oleh gema dari sebuah pesan terakhir, sebuah wasiat yang dikirimkan melintasi samudra waktu. Gema, organisasi perlawanan yang lahir dari riak yang ia ciptakan, kini telah terpojok, dan mereka telah melemparkan obor terakhir mereka kepadanya.
Dirgantara berdiri membeku di tengah stasiun bawah tanah yang dingin, tangannya masih terulur ke arah layar yang kosong.
Ia telah mengucapkan begitu banyak selamat tinggal dalam perjalanannya yang mustahil.
Selamat tinggal pada Ratna, yang memberinya sumpah.
Selamat tinggal pada Zahira, yang memberinya mimpi.
Kini, selamat tinggal pada Daeng Ratu, yang memberinya sebuah warisan. Masing-masing perpisahan itu telah merenggut sekeping dari jiwanya, meninggalkannya semakin kosong, semakin terasing dari dunia manusia.
Kesedihan dari kehilangan terakhir ini terasa begitu final, begitu mendalam. Ia adalah satu-satunya yang tersisa. Sang penjaga terakhir yang kini harus memikul seluruh beban perlawanan sendirian.
Namun, di atas kesedihan itu, ada sesuatu yang lain. Sebuah kejelasan yang mengerikan. Sebuah tujuan akhir. Ia menatap ke arah konsolnya, di mana set koordinat terakhir itu masih berkedip-kedip dengan cahaya merah yang mengancam.
Lokasi: Jakarta. Tahun: 1965.
Ia berjalan mendekat, dan dengan sebuah perintah mental, ia membuka semua data yang ia miliki tentang titik waktu itu. Peta holografik Nusantara kembali berpendar, ia menampilkan sebuah jaring laba-laba yang rumit dari aliansi politik, garis-garis merah ketegangan ideologis, dan titik-titik simpul kekuasaan yang saling berhadapan.
Di sana ada Soekarno, sang proklamator, yang mencoba menari di antara dua kekuatan raksasa: militer yang semakin kuat dan partai komunis yang memiliki jutaan pengikut. Di sana ada para jenderal Angkatan Darat, yang dipenuhi kecurigaan terhadap kaum kiri. Dan di sana ada D.N. Aidit, pemimpin PKI yang karismatik, yang mimpinya tentang revolusi proletariat semakin mendekati kenyataan.