Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #2

Titah Seribu Tahun

Di tahun 2070, keheningan adalah sebuah kemewahan artifisial. Di dalam Ruang Gema milik Lembaga Penjaga Garis Waktu, keheningan itu terasa absolut, menekan, dan penuh antisipasi. Agen Dirgantara Pramudya berdiri di pusat lantai logam berwarna putih susu yang dingin di bawah telapak kakinya. Ia hanya mengenakan celana panjang kelabu dan kaus tanpa lengan yang pas di badan, memperlihatkan otot-otot padat yang tidak lazim bagi seorang sejarawan jenius. Napasnya teratur, sebuah ritme tenang yang ia paksakan untuk mengendalikan debaran jantungnya. Ini adalah ujian akhir. Simulasi terakhir sebelum ia dilempar tujuh ratus tiga belas tahun ke masa lalu.

“Mulai program: Bubat, 1357. Skenario: Sergapan Awal,” suara tanpa tubuh dari sistem menggema di ruangan itu.

Seketika, dinding putih susu di sekelilingnya meleleh menjadi pemandangan baru. Tanah berumput tebal terhampar, dihiasi beberapa pohon besar yang rindang. Di kejauhan, ia bisa melihat pesanggrahan-pesanggrahan sederhana dari kayu dan jerami. Langit sore yang kemerahan dilukis di atas kubah ruangan. Udara bahkan terasa sedikit lebih lembap. Sebuah ilusi yang sempurna.

Keheningan pecah oleh derap langkah kaki dan teriakan perang. Dari balik pepohonan, belasan prajurit Majapahit holografik muncul. Mereka berlari dengan disiplin, perisai bundar dari kayu yang diperkuat logam terangkat, tombak panjang dengan ujung berkilat diacungkan ke arahnya. Pikirannya sebagai sejarawan langsung bekerja, sebuah kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan.

Formasi Garudamukha, formasi sayap burung yang dirancang untuk mengepung dan memecah barisan musuh. Agresif, standar infanteri berat Majapahit.

Saat itulah Implan Memori Kinetik di dasar tengkoraknya aktif. Sensasinya selalu aneh; sebuah sengatan dingin yang menjalar di sepanjang tulang punggungnya, diikuti oleh ketenangan yang tidak wajar. Dunia seolah melambat sepersekian detik. Ketakutan naluriahnya ditekan oleh logika tempur yang dingin. Tubuhnya kini bukan lagi miliknya sepenuhnya, melainkan instrumen yang dipandu oleh data ribuan pertempuran.

Prajurit pertama menusukkan tombaknya. Dirgantara tidak melompat mundur; ia justru maju, tubuhnya berputar sedikit. Ujung tombak itu lewat beberapa sentimeter dari rusuknya. Tangannya bergerak seperti ular, menangkap gagang kayu tombak itu, dan dengan satu sentakan kuat, ia menarik prajurit itu keluar dari keseimbangan. Siku kanannya menghantam rahang hologram itu, membuatnya berkedip sejenak sebelum lenyap menjadi ribuan partikel cahaya.

Ia kini memegang sebuah tombak. Senjata yang lebih baik daripada tangan kosong. Dua prajurit menyerang serempak dari sisi kiri dan kanan. Bergerak dalam satu alur yang cair, Dirgantara menggunakan gagang tombaknya untuk menangkis serangan dari kiri, lalu memutar tubuhnya dan menggunakan ujung tajamnya untuk menusuk hologram di sebelah kanannya. Partikel cahaya kembali berpendar.

Pertarungan itu adalah sebuah tarian brutal. Pikirannya menganalisis, sementara tubuhnya mengeksekusi. Mereka bergerak serempak, mengandalkan kekuatan kelompok. Kelemahan mereka adalah inisiatif individu. Ia sengaja membiarkan satu tombak menggores lengannya. Tidak ada rasa sakit, hanya getaran umpan balik dari sistem yang menandakan 'luka'. Ia harus membuat kekacauan, memecah kohesi mereka.

Dengan teriakan keras, ia mematahkan tombak yang dipegangnya di lututnya, menyisakan dua tongkat kayu bergerigi. Ia melemparkan salah satunya seperti lembing ke arah prajurit terjauh, membuatnya goyah. Lalu, ia menerjang ke tengah-tengah formasi mereka. Kini pertarungan menjadi jarak dekat, sebuah pusaran serangan dan tangkisan. Tongkat di tangannya bergerak tanpa henti, memukul perisai, menangkis ujung tombak, menghantam lutut dan leher. Satu per satu, para prajurit holografik itu lenyap, kembali menjadi ketiadaan.

Ketika hologram terakhir menghilang, Dirgantara berdiri di tengah lapangan rumput yang kembali sunyi. Napasnya sedikit memburu. Keringat membasahi pelipisnya. Simulasi belum berakhir. Ia tahu apa yang akan datang.

Lihat selengkapnya