Proses lompatan waktu bukanlah sebuah perjalanan, melainkan sebuah penghapusan. Selama beberapa detik yang menyakitkan, eksistensi Dirgantara Pramudya tercerabut dari ruang dan waktu. Ada sensasi robekan, seolah setiap atom di tubuhnya ditarik ke arah yang berlawanan, lalu dihantamkan kembali menjadi satu kesatuan. Kegelapan. Keheningan. Lalu, cahaya dan suara menyerbunya seperti sebuah ledakan.
Ia terbatuk, jatuh berlutut di atas tanah yang lembap dan gembur. Kepalanya berdenyut hebat, sisa dari disorientasi lompatan waktu yang menghantamnya. Bau tajam dari tanah basah, humus, dan pembusukan dedaunan memenuhi paru-parunya. Suara di sekelilingnya begitu padat dan berlapis hingga terasa memekakkan telinga; siulan serangga yang tak ia kenali, panggilan burung-burung aneh, dan desau angin yang melewati jutaan daun di atasnya. Ia tiba di sebuah hutan lebat di tanah Pasundan, sebuah dunia yang terasa asing dan purba dalam esensinya.
Pelatihannya mengambil alih. Mengabaikan pusing yang menderanya, ia segera melakukan pemeriksaan sistem internal.
Implan Memori Kinetik: aktif dan siaga. Monitor Biologis: fungsi vital stabil. Implan Penerjemah Bahasa: non-aktif, menunggu kalibrasi.
Semuanya berfungsi.
Namun, data dan laporan sistem terasa steril dibandingkan dengan realitas yang mengepungnya. Cahaya matahari yang menerobos kanopi pepohonan raksasa terasa berbeda, lebih keemasan dan berat. Udara yang ia hirup begitu murni, penuh dengan kehidupan, namun juga sarat dengan ancaman yang tak terlihat. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian dan rentan. Di Ruang Gema, ia adalah seorang predator. Di sini, di jantung abad ke-14, ia merasa seperti mangsa.
Sebuah intuisi, atau mungkin sisa data dari implannya, membuatnya menahan napas. Suara hutan di sekelilingnya berubah. Siulan serangga yang tadinya ramai mendadak sunyi. Keheningan yang tiba-tiba ini jauh lebih menakutkan daripada kebisingan sebelumnya. Ia perlahan bangkit, tubuhnya secara otomatis mengambil kuda-kuda rendah. Matanya memindai semak belukar yang lebat di sekelilingnya. Dan di sanalah ia melihatnya.
Sekitar dua puluh meter darinya, sesosok macan tutul berbaring rendah di atas dahan pohon yang besar. Bulunya yang berbintik adalah kamuflase yang sempurna di tengah permainan cahaya dan bayangan. Hanya kedutan di ujung ekornya dan tatapan mata keemasan yang terpaku padanya yang mengkhianati kehadirannya. Ini bukan hologram yang bisa lenyap menjadi partikel cahaya. Taringnya nyata. Cakarnya nyata. Kematian yang ditawarkannya bersifat permanen.