Selama tiga hari berikutnya, hutan lebat Pasundan menjadi guru sekaligus lawan bagi Dirgantara. Siang hari ia habiskan untuk bergerak, bukan tanpa tujuan, melainkan dengan metodologi seorang pelacak. Pelatihannya di Lembaga tidak hanya mencakup pertarungan, tetapi juga bertahan hidup dan infiltrasi. Ia belajar membaca jejak yang ditinggalkan alam: patahan ranting yang tidak wajar, jejak samar di tanah basah yang menandakan rombongan besar telah lewat, dan keheningan aneh di satu petak hutan yang menandakan kehadiran manusia telah menakuti para satwa.
Ia bertahan hidup dengan dendeng yang ia bawa dan buah-buahan hutan yang ia identifikasi aman menggunakan data dari implannya. Malam hari ia habiskan di atas dahan pohon tinggi, tidur dengan gelisah, setiap gemerisik daun terdengar seperti ancaman baru.
Pada pagi hari keempat, saat embun masih membasahi dedaunan dan udara terasa sejuk, ia menangkap sebuah anomali. Bukan sesuatu yang ia lihat, melainkan sesuatu yang ia dengar. Di kejauhan, terbawa oleh angin pagi, terdengar alunan musik yang lembut dan teratur. Suara gamelan. Sebuah melodi yang sangat kontras dengan simfoni liar hutan. Itu adalah suaranya, penanda peradaban yang ia cari. Ia segera bergerak menuju sumber suara itu, langkahnya lebih cepat, lebih bersemangat.
Setelah hampir satu jam berjalan menembus semak belukar, ia akhirnya tiba di tepi sebuah lereng kecil yang memberinya pemandangan sempurna ke sebuah jalan setapak di bawah. Apa yang ia lihat membuatnya menahan napas. Itu bukanlah sekadar rombongan, melainkan sebuah sungai manusia yang bergerak perlahan.
Kemegahannya luar biasa. Puluhan prajurit berjalan di barisan depan dan belakang, zirah kulit mereka berkilauan, tombak-tombak mereka berdiri tegak seperti hutan buatan. Di tengah-tengah, para dayang berjalan anggun, pakaian mereka berwarna-warni seperti taman bunga yang bergerak. Beberapa kereta yang ditarik lembu membawa perbekalan, dan di jantung prosesi itu, dua tandu megah yang dijaga paling ketat menarik perhatiannya. Satu tandu yang lebih anggun jelas milik sang putri, namun satu lagi yang lebih besar dan berwibawa, diusung di barisan terdepan, tak salah lagi adalah milik Sang Raja sendiri. Di atas tandu-tandu itu, panji-panji Kerajaan Sunda berkibar dengan anggun. Musik gamelan yang ia dengar berasal dari sekelompok musisi yang berjalan di barisan depan, alunan mereka menjadi penanda irama perjalanan.
Dirgantara mengamati dari kejauhan selama beberapa saat, memetakan kekuatan, rute, dan kebiasaan mereka. Ia tahu ia tidak bisa sekadar berjalan dan bergabung. Di zaman ini, orang asing adalah ancaman. Ia harus merancang pertemuannya. Ia memutuskan untuk menunggu di sebuah kelokan jalan di depan, tempat yang agak terbuka, dan akan berpura-pura menjadi seorang pengembara yang kelelahan.
Namun, rencananya tidak pernah terwujud. Saat ia mulai menuruni lereng, hutan di sekelilingnya yang tadinya tenang tiba-tiba menjadi hidup. Lima orang prajurit Sunda muncul dari balik pepohonan seolah mereka adalah bagian dari hutan itu sendiri, bergerak tanpa suara dan mengepungnya dalam formasi tapal kuda. Ujung tombak mereka yang tajam terarah padanya, mengunci setiap jalan keluar.
"Berhenti di sana, Kisanak," sebuah suara terdengar dari belakang para prajurit. Suara itu tidak keras, namun penuh wibawa dan memotong udara seperti bilah pedang.
Seorang perempuan melangkah keluar dari barisan prajurit. Ia tidak lebih tinggi dari prajurit pria di sekelilingnya, namun kehadirannya terasa jauh lebih besar. Ia mengenakan pakaian yang praktis namun tetap anggun, dengan sebilah kujang terselip di pinggangnya. Wajahnya tegas, matanya waspada, mengamati Dirgantara dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus penyamarannya. Tangannya tidak pernah berada jauh dari gagang kujangnya.
Dirgantara mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata. "Salam, wahai para penjaga," katanya dalam bahasa Sunda Kuno yang fasih, hasil kalibrasi implannya.
Perempuan itu sedikit mengangkat alisnya, terkejut mendengar kefasihan bahasanya. "Siapa kau, Kisanak? Dan apa urusanmu mengikuti rombongan kami?" tanyanya.
"Namaku Dirgantara. Aku hanyalah seorang juru kidung yang tersesat," jawab Dirgantara, menggunakan pesonanya. "Suara gamelan kalian adalah cahaya penuntun di tengah belantara ini. Aku tidak berniat buruk, hanya mencari jalan menuju keramaian."
Perempuan itu melangkah lebih dekat. Dirgantara bisa melihat detail wajahnya kini; rahangnya kokoh, dan ada bekas luka tipis di dekat pelipisnya, sebuah tanda bahwa ia adalah seorang petarung veteran. "Seorang juru kidung? Pakaianmu memang seperti pengembara, tapi caramu berdiri ... kau terlalu tenang untuk seseorang yang sedang ditodong tombak, Kisanak."
Dirgantara tersenyum tipis. "Kata-kata adalah perisaiku, Nisanak. Ketenangan adalah satu-satunya harta yang dimiliki seorang juru kidung."