Perjalanan rombongan Kerajaan Sunda adalah sebuah organisme yang hidup. Ia memiliki ritme dan napasnya sendiri. Pagi hingga siang hari diisi oleh derap langkah yang stabil, derit roda pedati, dan alunan gamelan yang tak pernah putus, seolah menjadi detak jantung dari iring-ringan itu sendiri. Sore hari ditutup dengan kesibukan mendirikan tenda-tenda sederhana dan aroma masakan yang menguar di udara. Bagi Dirgantara, ini adalah sebuah pengalaman imersif yang tak ternilai, sebuah arsip hidup yang jauh lebih kaya daripada data digital mana pun yang pernah ia pelajari.
Pada hari pertama ia bergabung, Dirgantara memegang teguh perannya sebagai seorang juru kidung. Selama waktu istirahat di bawah naungan pohon randu alas yang rindang, saat para prajurit dan dayang melepas lelah, ia diminta untuk menunjukkan kebolehannya. Ia membacakan sebuah syair sederhana tentang keindahan alam Pasundan, bercerita tentang kesetiaan sungai, kerendahan hati padi, dan kekuatan akar pohon yang mencengkeram bumi dalam diam.
Kata-katanya yang terangkai indah berhasil memikat sebagian besar pendengarnya. Para dayang tersenyum malu-malu, dan bahkan beberapa prajurit yang tadinya berwajah garang tampak sedikit melunak. Ia mendapat sambutan hangat, sebuah anggukan penerimaan.
Namun, ada satu orang yang tidak terpengaruh. Di kejauhan, bersandar di sebatang pohon dengan tangan bersedekap, Ratna Laras menatapnya tanpa ekspresi. Tatapan matanya tajam, analitis, seolah setiap bait puisinya sedang dibedah untuk mencari makna tersembunyi. Dirgantara bisa merasakan tatapan itu seperti beban fisik di pundaknya sepanjang hari. Ke mana pun ia pergi, ia selalu merasa sepasang mata itu mengawasinya, sebuah pengingat bahwa ia masih seorang asing yang belum dipercaya.
Malam itu, saat api unggun utama telah menjadi pusat tawa dan cerita, Dirgantara memilih untuk duduk sendirian di dekat perapian yang lebih kecil, sedikit menjauh dari keramaian. Ia menatap nyala api, pikirannya mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang telah ia kumpulkan. Ia merasa terasing, sebuah pulau kesadaran dari masa depan di tengah lautan masa lalu. Rasa sepi itu adalah musuh yang tak terduga, lebih dingin dari angin malam yang berembus.
"Api adalah teman yang jujur, Kisanak."
Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya, begitu dekat dan tiba-tiba hingga seorang biasa pasti akan terlonjak kaget. Namun, implan Dirgantara telah mendeteksi langkah kaki yang mendekat tanpa suara beberapa saat sebelumnya. Jantungnya sempat berdebar sedikit lebih cepat, sebuah anomali yang dicatat oleh Monitor Biologisnya, sebelum ia berhasil mengendalikan reaksinya. Ia menoleh dengan gerak perlahan yang terkendali, seolah baru menyadari kehadiran suara itu. Ratna Laras berdiri di sana, sosoknya tampak kuat di bawah cahaya api yang menari-nari.
"Ia memberikan kehangatan bagi mereka yang tulus, namun akan membakar hangus mereka yang berniat buruk," lanjut Ratna, matanya tak lepas dari wajah Dirgantara. Ia kemudian duduk di seberang api unggun, menjaga jarak yang aman namun konfrontatif. Kujang pusakanya tampak menyerap cahaya api, bilahnya yang unik memancarkan kilau redup.
"Sebuah pengamatan yang tajam, Nisanak," balas Dirgantara dengan tenang, suaranya ia buat terdengar sedikit lelah, selayaknya seorang pengembara di penghujung hari. "Api dan kata-kata memiliki sifat yang sama. Keduanya bisa menerangi, bisa pula menghancurkan."
Ratna tersenyum tipis, meski senyum itu tidak mencapai matanya. "Kau banyak berbicara tentang kata-kata. Syairmu tadi siang indah, aku akui itu. Tapi bukan gubahan seorang pengembara biasa. Itu adalah karya seorang terpelajar, bahkan mungkin seorang bangsawan."
Ini dia. Interogasi sesungguhnya dimulai. Dirgantara merasakan kewaspadaannya menajam. "Ilmu bisa ditemukan di mana saja," jawabnya dengan kiasan puitis. "Guruku adalah angin yang membawa cerita dari gunung ke lembah. Kitabku adalah aliran sungai yang mengukir kebijaksanaan di atas batu."
"Jawaban seorang juru kidung sejati," kata Ratna, nadanya sedikit menyindir. "Tapi angin tidak mengajarkan tata krama istana, dan sungai tidak mengajarkan cara berbicara kepada seorang Patih. Kefasihanmu terlalu terasah. Dan bukan hanya itu." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya menyipit. "Caramu berdiri. Saat para prajuritku mengepungmu, kau berdiri tegak, kedua kakimu seimbang, siap bergerak ke segala arah. Itu bukan kuda-kuda seorang penyair yang pasrah, melainkan kuda-kuda seorang petarung yang sedang mengukur lawannya."