Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #6

Benih-Benih Badai

Hari-hari berikutnya bergulir dalam irama perjalanan yang membosankan namun sarat akan ketegangan sunyi. Rombongan besar Kerajaan Sunda telah meninggalkan jantung tanah Pasundan, bergerak ke arah timur melintasi perbukitan dan lembah. Lanskap perlahan berubah. Hutan-hutan yang tadinya rimbun kini lebih sering diselingi oleh padang-padang rumput luas dan desa-desa kecil yang tampak makmur. Bagi Dirgantara, setiap lekuk bentang alam adalah halaman dari kitab sejarah yang sedang ia baca dengan matanya sendiri. Di dalam benaknya, sebuah peta tak kasat mata terus terbentuk, menumpuk alur perjalanan di atas data rupa bumi kuno yang tersimpan abadi dalam implannya.

Sejak uji kata di tepi api unggun malam itu, Ratna Laras tak pernah lagi mendekatinya. Sebuah dinding tak kasat mata kini terbentang di antara mereka. Namun, keheningan yang tercipta justru terasa lebih menyesakkan daripada sebuah tantangan terbuka.

Tatapan matanya menjadi bayangan tak bersuara yang selalu mengikuti setiap langkah Dirgantara. Saat ia berbagi senyum dengan para dayang, ia bisa merasakan sepasang mata tajam itu mengamati dari sela-sela kerumunan. Saat ia berbagi cerita dengan para prajurit di malam hari, ia tahu sepasang telinga sedang ikut mendengar dari balik kegelapan. Ia adalah seorang tahanan tanpa belenggu, seorang tamu yang setiap napas dan gerak-geriknya dijajaki.

Topeng seorang juru kidung terasa nyaman melekat di wajah Dirgantara, namun di baliknya, pikiran seorang agen bekerja tanpa henti. Tatapan tajam Ratna Laras yang terus mengikutinya bukanlah sebuah tekanan, melainkan sebuah irama yang sudah ia kenal, tarian lama antara pemangsa dan mangsa di lorong-lorong kekuasaan.

Jubah penyair memberinya sebuah kunci tak kasat mata. Kunci yang memungkinkannya membuka pintu lingkaran para prajurit yang kasar di siang hari, duduk bersama mereka, mendengarkan keluh kesah tentang beratnya zirah dan pahitnya tuak. Kunci yang sama juga membawanya ke dalam lingkaran para dayang yang lebih halus saat senja, menangkap harapan dan ketakutan yang mereka bisikkan tentang memasuki sebuah negeri asing.

Ia menjadi telinga dan mata yang tak terlihat di jantung rombongan. Dan dari setiap penggalan cerita, dari setiap keluhan yang tak disengaja, ia mulai merajut sebuah gambaran mengerikan di dalam benaknya.

Suatu sore, saat rombongan beristirahat lebih lama dari biasanya untuk memberi minum ternak, ia melihat seorang dayang yang sangat muda duduk sendirian di bawah pohon, bahunya bergetar isak tangis yang ditahan. Dirgantara, yang melihat kesempatan untuk memahami emosi rombongan lebih dalam, mendekatinya dengan perlahan.

“Langit begitu cerah, mengapa ada awan mendung di wajah anjeun, Nyi?” tanyanya dengan lembut, menggunakan sapaan Sunda yang sopan.

Dayang muda itu, yang mungkin baru berusia lima belas tahun, tersentak kaget dan cepat-cepat menyeka air matanya. “Maafkan saya, Kisanak. Saya tidak bermaksud …”

“Tidak apa-apa,” potong Dirgantara, duduk di jarak yang aman. “Sebuah kidung terkadang terdengar lebih merdu jika diiringi oleh tangisan hujan.”

Kata-kata puitisnya yang aneh sepertinya membuat gadis itu sedikit santai. “Saya hanya … merindukan rumah,” bisiknya. “Saya rindu udara sejuk di Kawali. Di sini, semakin ke timur, udaranya terasa semakin panas dan berat.” Ia meremas-remas ujung bajunya. “Orang-orang juga berbicara dengan cara yang berbeda. Mereka bilang, orang Majapahit itu angkuh. Mereka bilang kita datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai …” Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Dirgantara merasakan sentakan emosi yang tulus. Ini bukan lagi data abstrak tentang sentimen politik. Ini adalah ketakutan nyata dari seorang anak perempuan yang tercabut dari rumahnya. “Sebuah pohon muda memang akan selalu merindukan tanah tempat ia pertama kali tumbuh,” kata Dirgantara menenangkan. “Tapi ingat, pohon yang kuat adalah yang akarnya mampu mencengkeram tanah mana pun ia berada. Pernikahan Gusti Putri akan membawa perdamaian. Anggaplah dirimu sebagai pembawa benih perdamaian itu.”

Lihat selengkapnya