Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #7

Megah yang Menyesakkan

Setelah berminggu-minggu menempuh perjalanan, pemandangan mulai mengirimkan sinyal yang tak terbantahkan: mereka mendekati jantung dari raksasa itu. Hutan-hutan lebat telah berganti dengan hamparan sawah yang teratur dan luasnya tak terjangkau pandangan mata, sebuah bukti kemakmuran dan tatanan yang luar biasa. Desa-desa yang mereka lewati kini lebih besar, lebih padat, dan arsitekturnya mulai menunjukkan gaya yang berbeda, atap-atap yang lebih curam dan penggunaan bata merah yang semakin dominan. Udara terasa lebih panas, dan dialek orang-orang di pinggir jalan terdengar asing, bahkan bagi Implan Penerjemah Bahasa Dirgantara yang harus terus-menerus melakukan kalibrasi mikro untuk menangkap setiap nuansa.

Kabar tentang kedatangan rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda sepertinya telah mendahului mereka. Di setiap desa, penduduk keluar untuk menonton arak-arakan itu lewat. Namun, Dirgantara, dengan kepekaannya yang terlatih, menangkap sesuatu yang aneh dalam tatapan mereka. Itu bukanlah tatapan penuh sukacita menyambut calon permaisuri raja mereka. Itu adalah tatapan penuh rasa ingin tahu yang dingin, seolah sedang menyaksikan barang persembahan langka dari negeri taklukan. Tidak ada senyum hangat, hanya bisik-bisik dan tatapan mata yang mengukur.

Kemudian, pada suatu siang yang terik, di kejauhan, Dirgantara melihatnya untuk pertama kali. Trowulan.

Bahkan dari jarak beberapa kilometer, kemegahan ibu kota Majapahit itu sudah terasa menyesakkan. Dinding luar kota yang terbuat dari bata merah tebal menjulang tinggi, membentang sejauh mata memandang, sebuah pernyataan kekuatan yang absolut. Di atas dinding itu, menara-menara pengawas berdiri dengan angkuh, dan di baliknya, puncak-puncak atap bangunan, pendopo, pura, dan istana menjulang seperti jajaran gunung buatan manusia. Saat mereka semakin dekat, detail-detailnya mulai terlihat: ukiran kala dan makara yang rumit di atas gerbang utama, parit lebar yang airnya berkilauan di bawah matahari, dan kanal-kanal ramai yang dipenuhi perahu-perahu dagang dari berbagai penjuru Nusantara.

Sebagai seorang sejarawan dari tahun 2070, Dirgantara telah mempelajari ratusan diagram dan rekonstruksi holografik dari Trowulan. Namun, tidak ada data mana pun yang bisa mempersiapkannya untuk pemandangan ini. Ini bukanlah reruntuhan yang sunyi atau simulasi yang steril. Ini adalah sebuah kota yang hidup, bernapas, dan berdenyut dengan kekuatan. Ia merasakan getaran kekaguman yang tulus, sebuah kehormatan karena bisa menyaksikan secara langsung puncak peradaban yang telah lama hilang.

Namun, kekaguman itu dengan cepat memudar saat rombongan mereka melewati gerbang utama. Atmosfer di dalam tembok kota terasa sangat berbeda. Kemegahan arsitekturnya kini terasa menekan, seolah bangunan-bangunan bata merah yang menjulang itu sedang menatap rendah ke arah mereka. Kanal-kanal yang ramai kini terasa sesak, dan tatapan-tatapan orang di jalanan tidak lagi hanya ingin tahu. Dirgantara merasakan tatapan-tatapan yang tidak ramah dan atmosfer politik yang berat menggantung di udara seperti kabut tebal. Ada arogansi dalam cara para bangsawan Majapahit yang berpapasan dengan mereka memalingkan muka, ada cemoohan tersembunyi dalam senyum para pedagang, dan ada pengawasan dingin dari para prajurit yang berjaga di setiap sudut jalan.

Lihat selengkapnya