Pesanggrahan yang disediakan untuk rombongan Kerajaan Sunda adalah sebuah sangkar emas. Bangunannya megah, terbuat dari kayu jati berukir dengan atap-atap bertingkat yang indah. Taman-tamannya tertata rapi, dihiasi kolam-kolam teratai dan pancuran-pancuran kecil yang gemericik suaranya seharusnya menenangkan. Namun, tak ada ketenangan di sana. Keindahan itu terasa dingin dan mengisolasi. Dinding tinggi mengelilingi seluruh kompleks, dan di setiap gerbang, para prajurit Majapahit berjaga dengan wajah tanpa ekspresi, kehadiran mereka adalah pengingat konstan bahwa para tamu ini sesungguhnya adalah tahanan terhormat.
Selama dua hari, mereka dibiarkan menunggu. Dua hari yang panjang dan penuh dengan amarah yang tertahan. Dirgantara, dalam perannya sebagai juru kidung, bergerak di antara mereka, mengamati bagaimana penghinaan saat penyambutan kemarin menggerogoti kesabaran rombongan. Ia melihat para bangsawan muda berkumpul di pendopo, suara mereka rendah namun penuh getar emosi, membahas harga diri yang terinjak-injak. Ia melihat para prajurit berlatih di halaman dengan energi yang lebih keras dari biasanya, setiap tusukan tombak dan sabetan pedang seolah melampiaskan kekesalan mereka.
Suasana begitu tegang, seolah satu percikan kecil saja bisa menyulut api besar. Dirgantara menyaksikan bagaimana Patih Anepaken, pemimpin rombongan yang bijaksana, harus bekerja keras untuk meredam emosi kaum muda. “Kesabaran adalah senjata para raja,” katanya pada seorang bangsawan muda yang nyaris menghunus pisaunya karena merasa seorang penjaga Majapahit menatapnya dengan pandangan merendahkan. “Kita datang membawa niat baik. Jangan biarkan panasnya hati membakar hangus tujuan kita.”
Di tengah semua itu, Ratna Laras adalah pusat dari ketenangan yang dingin. Ia tidak banyak bicara, namun kehadirannya terasa di mana-mana. Ia memastikan jadwal patroli pengawal Sunda di dalam kompleks berjalan tanpa cela. Ia secara pribadi memeriksa makanan yang disajikan, memastikan tidak ada racun. Matanya selalu waspada, tangannya tak pernah jauh dari gagang kujangnya. Ia adalah perwujudan disiplin di tengah badai emosi yang siap meledak. Dirgantara mengamatinya dan merasakan sedikit kekaguman pada kemampuannya mengendalikan diri. Ia tahu, di balik wajah yang tenang itu, amarah Ratna mungkin yang paling besar di antara mereka semua, namun ia menyimpannya di balik benteng tugas yang tak tertembus.
Pada hari ketiga, saat matahari mulai condong ke barat, seorang utusan dari istana akhirnya datang. Bukan seorang bangsawan tinggi, melainkan seorang juru tulis yang diiringi dua prajurit. Ia menyampaikan undangan dari Raja Hayam Wuruk untuk menghadiri jamuan penyambutan di balai istana utama malam itu. Undangan itu disampaikan dengan kata-kata yang sopan, namun penundaan selama dua hari telah merusak semua rasa ketulusan di dalamnya. Itu lebih terasa seperti sebuah panggilan menghadap daripada sebuah undangan hangat.
Meski begitu, rombongan Sunda bersiap dengan penuh martabat. Mereka mengenakan pakaian-pakaian terbaik mereka, kain-kain sutra berwarna cerah dan perhiasan emas yang berkilauan. Ini bukan lagi hanya untuk menghadiri jamuan; ini adalah sebuah pernyataan. Mereka akan menunjukkan kepada Majapahit bahwa Kerajaan Sunda bukanlah negeri bawahan yang bisa direndahkan, melainkan sebuah kerajaan yang setara dalam kemegahan dan wibawa.
Saat malam tiba dan obor-obor dinyalakan di sepanjang jalan, rombongan mereka diarak menuju istana utama. Jantung Trowulan di malam hari adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Cahaya dari ribuan lentera dan obor memantul di kanal-kanal, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding-dinding bata merah yang megah.