Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #9

Puisi untuk Persatuan

Balai perjamuan Istana Majapahit adalah sebuah panggung yang dirancang untuk memamerkan kekuasaan. Ruangan itu bahkan lebih megah dari balai penghadapan. Pilar-pilar kayu jati yang dipernis hingga berkilauan menopang atap yang dihiasi ukiran sulur dan bunga teratai. Puluhan damar besar yang tergantung di langit-langit memandikan seluruh ruangan dalam cahaya keemasan yang hangat, namun Dirgantara merasakan hawa dingin yang tak ada hubungannya dengan suhu udara.

Di tengah ruangan, hidangan-hidangan mewah disajikan di atas nampan-nampan perak dan emas. Ada tumpeng-tumpeng nasi kuning yang menjulang, jajaran ikan bakar berempah, dan buah-buahan eksotis yang ditata menyerupai taman surga. Alunan gamelan yang merdu mengalun lembut, mengisi setiap sudut ruangan. Para bangsawan Majapahit, dalam pakaian sutra mereka yang gemerlap, tertawa dan berbincang, menciptakan ilusi sebuah malam yang penuh keramahan.

Namun, itu hanyalah ilusi.

Dirgantara, yang duduk di barisan belakang bersama para seniman dan pengiring tingkat rendah, mengamati semuanya. Ia melihat bagaimana para bangsawan Sunda duduk dengan punggung yang kaku, senyum mereka tipis dan dipaksakan. Mereka makan sedikit dan berbicara hanya jika ditanya. Setiap tawa dari meja para bangsawan Majapahit terdengar seperti cemoohan halus di telinga mereka. Ini bukanlah sebuah perjamuan untuk menyambut keluarga; ini adalah sebuah demonstrasi kekayaan dan kekuasaan yang diperlihatkan kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Setiap hidangan lezat terasa seperti hinaan, setiap nada gamelan terasa seperti lagu kemenangan sepihak.

Di seberang ruangan, ia bisa melihat Ratna Laras. Ia tidak duduk, melainkan berdiri di belakang kursi Patih Anepaken, diam dan waspada seperti seekor macan kumbang. Ia tidak menyentuh makanan atau minuman, matanya terus bergerak, memindai setiap wajah, setiap gerakan. Dirgantara tahu bahwa di balik ketenangannya, Ratna merasakan setiap tusukan penghinaan ini jauh lebih dalam daripada siapa pun.

Setelah beberapa sajian hidangan, seorang juru bicara istana yang berperut buncit maju ke tengah ruangan. “Dan kini, sebagai persembahan untuk menghibur Sri Baginda Raja dan para tamu agung dari Kerajaan Sunda, kita akan saksikan tari-tarian dari para penari terbaik di Trowulan!”

Beberapa penari yang anggun pun masuk, gerakan mereka luwes dan indah. Namun, saat mereka menari, Dirgantara memperhatikan sesuatu. Tarian itu bukanlah Tari Merak yang melambangkan keindahan atau tarian penyambutan lainnya. Itu adalah Tari Anila, sebuah tarian yang menceritakan kisah ksatria kera yang gagah berani dalam menaklukkan musuh-musuhnya. Sebuah pilihan tarian yang aneh untuk sebuah jamuan pernikahan. Sebuah pesan tersembunyi lainnya.

Setelah para penari selesai dan menerima tepuk tangan meriah, juru bicara itu kembali maju. “Sebuah penampilan yang luar biasa! Dan kini, kita dengar para tamu kita dari Sunda juga membawa seorang juru kidung. Sebuah kehormatan bagi kita untuk mendengarkan alunan syair dari tanah Pasundan.”

Semua mata kini tertuju pada Dirgantara. Ia merasakan tekanan yang luar biasa. Ini adalah kesempatannya. Momen yang telah ia tunggu. Para bangsawan Majapahit menatapnya dengan senyum merendahkan, seolah mengharapkan sebuah lagu cinta desa yang sederhana. Para bangsawan Sunda menatapnya dengan penuh harap, memohonnya untuk tidak mempermalukan nama kerajaan mereka. Dan di kejauhan, ia melihat tatapan Gajah Mada, dingin dan tak terbaca, seolah berkata, “Hiburlah kami, semut kecil.”

Dirgantara menarik napas dalam-dalam. Semua syair tentang alam dan keindahan yang telah ia siapkan terasa hampa dan tak berarti. Menggunakannya sekarang hanya akan mengukuhkan posisinya sebagai penghibur yang tidak berbahaya. Tidak. Ia harus melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berani. Sesuatu yang akan mengguncang ruangan ini.

Ia bangkit dan berjalan ke tengah ruangan, setiap langkahnya terasa berat. Ia tidak membawa alat musik, hanya dirinya sendiri. Ia membungkuk dalam-dalam ke arah Raja Hayam Wuruk, lalu ke arah rombongan Sunda.

“Ampun, Sri Baginda,” katanya, suaranya tenang namun cukup keras untuk mengisi keheningan yang tiba-tiba menyelimuti balai. “Malam ini, izinkan saya bersyair tentang sebuah kisah dua sungai.”

Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya. Ia lalu memulai gubahan epik yang ia ciptakan saat itu juga, sebuah metafora yang berisiko tentang Sunda dan Majapahit.

“Dari rahim Gunung Pangrango, lahirlah sebuah sungai,

Airnya jernih, arusnya deras membawa harga diri.

Lihat selengkapnya