Keheningan yang tadinya penuh dengan kekesalan dan amarah yang tertahan kini pecah oleh bisik-bisik kekaguman. Dirgantara, sang Juru Kidung, kini dipandang dengan cara yang baru. Para bangsawan muda yang tadinya menatapnya dengan sebelah mata kini mengangguk hormat saat ia lewat. Para prajurit memberinya senyum persahabatan yang tulus. Ia telah menjadi pahlawan tak terduga bagi mereka. Ia telah menyuarakan harga diri mereka di sarang naga.
Namun, Dirgantara tidak merasakan euforia kemenangan. Saat ia duduk sendirian di biliknya yang sederhana, pikirannya bekerja dengan kecepatan tinggi, menganalisis setiap detail dari malam itu. Pujian dari Raja Hayam Wuruk adalah sebuah keuntungan strategis yang tak ternilai. Itu memberinya lapisan perlindungan, setidaknya untuk sementara waktu. Namun, keheningan dari Gajah Mada dan faksinya jauh lebih membekas. Itu bukanlah keheningan karena kekalahan, melainkan keheningan seekor buaya yang sedang menunggu di bawah permukaan air.
Ia tahu, mulai malam ini, ia bukan lagi sekadar orang asing yang mencurigakan di mata sang Mahapatih. Ia adalah sebuah ancaman yang teridentifikasi. Sebuah duri kecil yang harus segera dicabut. Monitor Biologisnya menunjukkan detak jantungnya masih sedikit di atas normal, sebuah respons fisiologis terhadap bahaya yang baru saja ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Ia sedang merenungkan langkah berikutnya saat sebuah ketukan pelan terdengar di pintu biliknya. Bukan ketukan keras seorang prajurit, melainkan ketukan singkat dan hati-hati. Dirgantara bangkit, tubuhnya siaga. Ia membuka pintu sedikit dan mendapati seorang prajurit Sunda yang ia kenali sebagai salah satu pengawal kepercayaan Ratna Laras.
Prajurit itu tidak banyak bicara. "Nyi Laras menunggu Kisanak," bisiknya cepat. "Di taman belakang, dekat kolam teratai, saat lonceng tengah malam berbunyi. Datanglah sendiri dan jangan sampai terlihat." Tanpa menunggu jawaban, prajurit itu membungkuk sedikit dan menghilang ditelan kegelapan koridor.
Sebuah panggilan rahasia. Jantung Dirgantara berdebar sedikit lebih kencang. Ini bisa jadi sebuah jebakan, atau sebuah kesempatan. Mengingat kembali sorot mata Ratna di balai perjamuan tadi, ia memutuskan untuk mengambil risiko.
Saat lonceng perunggu di menara penjaga berdentang dua belas kali, menandakan tengah malam, Dirgantara menyelinap keluar dari biliknya. Ia bergerak melewati koridor-koridor yang sunyi, bayangannya menari-nari di bawah cahaya obor yang redup.
Taman belakang pesanggrahan adalah sebuah tempat yang indah dan sunyi. Cahaya rembulan yang pucat menyinari kelopak-kelopak bunga teratai yang mengambang di atas kolam yang tenang, menciptakan suasana yang nyaris magis. Namun, bayang-bayang pekat di bawah pepohonan membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk sebuah pertemuan rahasia atau sebuah penyergapan.
Ratna Laras sudah berada di sana, berdiri di bawah naungan pohon kamboja, nyaris tak terlihat dalam kegelapan. Ia tidak mengenakan pakaian pengawalnya yang lengkap, hanya sehelai kain panjang yang disampirkan di bahunya menutupi pakaian sederhananya, membuatnya tampak sedikit lebih santai. Namun, kujang pusakanya tetap terselip di pinggang, dan postur tubuhnya tetap tegak dan waspada.
"Kau datang," kata Ratna saat Dirgantara mendekat. Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.