Fajar di Trowulan memanjat dinding-dinding bata merah dengan warna jingga yang lembut, namun bagi Dirgantara, pagi itu terasa berbeda. Udara tidak lagi hanya berat oleh intrik politik yang tak terucapkan; kini ia juga sarat dengan sebuah tujuan yang jelas. Aliansi yang terbentuk di bawah rembulan pucat tadi malam telah memberinya sebuah nama, sebuah titik awal di tengah peta konspirasi yang luas dan tak berbentuk. Gagak Suro. Nama itu terasa seperti kerikil tajam di dalam benaknya.
Ia menghabiskan pagi harinya dengan melakukan apa yang diharapkan dari seorang Juru Kidung: mengamati. Ia menemukan sebuah tempat yang sempurna di sudut sebuah pendopo terbuka yang menghadap ke halaman latihan para prajurit. Dengan sebuah lontar kosong dan alat tulis sederhana di pangkuannya, ia berpura-pura sedang mencari ilham di antara hiruk pikuk kehidupan istana. Padahal, matanya yang terlatih dan implannya yang selalu aktif sedang memindai, merekam, dan menimbang setiap interaksi di hadapannya.
Ia melihat para bangsawan berjalan dengan langkah angkuh, para abdi dalem bergerak cepat dengan nampan-nampan persembahan, dan para prajurit berlatih dengan teriakan-teriakan yang memecah udara. Ini adalah jantung sebuah imperium yang berdenyut dengan kekuatan dan kesibukan. Di tengah keramaian itulah, ia akhirnya menemukan targetnya.
Ratna tidak perlu mendeskripsikannya. Dirgantara langsung tahu siapa Gagak Suro saat melihatnya. Ia adalah seorang perwira berperawakan sedang, namun ada aura arogansi di sekelilingnya yang membuatnya tampak lebih besar. Wajahnya selalu dihiasi senyum sinis, dan matanya bergerak liar, seolah tak pernah mau melewatkan satu pun detail yang bisa ia gunakan untuk keuntungannya. Ia dikelilingi oleh sekelompok perwira lain, dan dari cara mereka tertawa lebih keras saat ia melontarkan lelucon, Dirgantara tahu bahwa Gagak Suro adalah pemimpin dari lingkaran kecil itu.
Selama hampir satu jam, Dirgantara mengamatinya. Ia melihat bagaimana Gagak Suro berbicara dengan nada merendahkan kepada seorang prajurit berpangkat lebih rendah, namun berubah menjadi penjilat yang fasih saat seorang panglima senior lewat. Ia adalah seorang oportunis, seorang pria yang kehausan akan kekuasaan. Dirgantara bisa melihat ambisi itu terpancar darinya seperti panas dari bara api. Ia adalah jenis percikan api yang sempurna untuk menyulut sebuah padang rumput kering.
Setelah mengumpulkan cukup pengamatan visual, Dirgantara kembali ke biliknya yang sunyi. Ia duduk bersila di atas tikar pandan, menutup pintu, dan membiarkan keheningan menyelimutinya. Inilah saatnya untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh Ratna maupun prajuritnya. Inilah saatnya untuk mencocokkan informasi dari abad ke-14 dengan data absolut dari abad ke-21.
Ia menutup matanya. Ia tidak melihat layar atau data yang berkelebat. Prosesnya jauh lebih organik, lebih personal. Ia mengirimkan sebuah perintah mental, dan implan di dasar tengkoraknya merespons. Ia merasakan sebuah sensasi dingin yang familier saat sebuah sungai data sejarah mulai mengalir ke dalam kesadarannya. Gema-gema bisikan dari masa depan, catatan-catatan yang telah diverifikasi oleh ribuan sejarawan, kini menjadi bagian dari pikirannya yang sadar.