Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #13

Perang Bisikan

Keberhasilan sabotase surat itu tidak membawa kelegaan, melainkan menciptakan jenis ketegangan yang baru. Di hari-hari berikutnya, Dirgantara memperhatikan perubahan di antara faksi Gajah Mada. Ia melihat Gagak Suro berjalan di halaman istana dengan langkah-langkah marah, wajahnya masam saat berbicara dengan Adipati Srenggana dan Rakai Taji di sudut-sudut tersembunyi. Mereka tampak bingung dan gusar. Rencana pertama mereka telah gagal tanpa penjelasan yang logis; perintah dari seorang Adipati diabaikan begitu saja oleh pasukan di perbatasan. Bagi orang-orang yang terbiasa dengan kekuasaan absolut, kebingungan seperti itu dengan cepat berubah menjadi amarah. Dirgantara tahu, seekor ular yang terluka akan menyerang lebih membabi buta. Ia dan Ratna perlu bergerak lebih dulu, mengubah medan pertempuran.

Pertemuan mereka berikutnya di taman belakang pesanggrahan terasa lebih mendesak. Cahaya bulan nyaris purnama, membuat bayang-bayang menjadi lebih pendek dan tempat persembunyian semakin sedikit.

“Mereka gelisah,” lapor Ratna tanpa basa-basi. “Prajuritku yang berjaga di dekat barak mereka mendengar Gagak Suro meneriakkan kata ‘penghinaan’ dan ‘pembangkangan’. Mereka akan segera melakukan sesuatu yang lebih gegabah.”

“Itulah yang aku khawatirkan,” sahut Dirgantara. “Aksi kita kemarin bersifat bertahan. Kita hanya menangkis sebuah serangan. Sekarang, kita harus menyerang balik.”

Ratna menatapnya, alisnya terangkat. “Menyerang? Di jantung kandang mereka? Itu tindakan bunuh diri.”

“Tidak dengan senjata, Nisanak,” kata Dirgantara. “Gajah Mada dan orang-orangnya ingin menciptakan narasi permusuhan. Mereka ingin seluruh Trowulan percaya bahwa rombongan Sunda adalah tamu yang sombong dan pantas untuk ‘diberi pelajaran’. Kita akan melawan narasi itu dengan narasi kita sendiri. Kita akan memulai perang bisikan.”

Dirgantara menjelaskan rencananya yang memiliki dua mata tombak. Pertama, ia sendiri yang akan menyasar jantung kebudayaan istana: para pujangga, seniman, dan abdi dalem yang hidup dari cerita dan desas-desus. Ia akan menyebarkan desas-desus di kalangan penyair dan seniman istana bahwa Raja Hayam Wuruk, yang begitu terkesan oleh kecantikan Putri Dyah Pitaloka dan tergerak oleh syair persatuan Dirgantara, sedang menyiapkan hadiah pernikahan yang luar biasa dan tak terduga. Sebuah hadiah rahasia yang akan menjadi lambang penyatuan dua kerajaan agung. Rumor ini dirancang untuk memicu suasana positif yang bertentangan dengan intrik militer yang sedang dibangun oleh faksi Gajah Mada.

Mata tombak kedua adalah tugas Ratna. Sementara Dirgantara membangun harapan di kalangan Majapahit, Ratna harus mengelola ketegangan di dalam pasukannya sendiri. Ia harus menyebarkan kabar di kalangan prajurit Sunda untuk tetap waspada dan tidak mudah terprovokasi. Ia akan menekankan bahwa kehormatan sejati seorang prajurit Sunda bukanlah dalam membalas setiap hinaan kecil, melainkan dalam menunjukkan disiplin dan kesabaran yang superior, membuktikan bahwa mereka berada di atas segala provokasi murahan.

Ratna mendengarkan dengan saksama, dan untuk pertama kalinya, Dirgantara melihat secercah senyum tulus di bibirnya. “Melawan pedang dengan cerita, dan melawan amarah dengan kesabaran,” katanya. “Licik. Aku suka itu.”

Keesokan harinya, Dirgantara memulai serangannya. Ia tidak langsung menyebarkan gosip. Itu akan terlalu kasar dan mudah dilacak. Sebaliknya, ia melakukan apa yang paling ia kuasai: ia bercerita. Ia bergabung dengan sekelompok pujangga istana yang sedang berkumpul di sebuah pendopo, menikmati teh jahe dan kue beras. Setelah saling berbagi syair dan pantun, Dirgantara dengan rendah hati meminta izin untuk membacakan sebuah gubahan baru yang katanya ia dapatkan dari sebuah mimpi.

Ia lalu membacakan sebuah syair pendek yang indah, bukan lagi tentang sungai, melainkan tentang seorang raja muda yang begitu terpikat pada seorang putri gunung hingga ia berjanji akan memetik gugusan bintang paling terang di langit untuk dijadikan kalungnya. Syair itu berakhir dengan sang raja yang kini sedang menempa bintang-bintang itu secara rahasia di kawah gunung berapi, dibantu oleh para dewa.

Dirgantara berdeham pelan, menarik perhatian para pujangga yang berkumpul. Wajahnya memasang ekspresi seorang seniman yang sedang dirasuki ilham.

"Izinkan saya berbagi sebuah gubahan pendek," katanya. "Sebuah kisah yang datang dalam mimpi semalam, tentang seorang raja, seorang putri, dan janji yang terukir di langit."

Ia lalu mulai bersyair dengan suara yang tenang namun penuh perasaan.

 

Lihat selengkapnya