Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #14

Perdebatan di Tepi Kolam

Perang bisikan yang mereka lancarkan membawa hasil. Selama beberapa hari berikutnya, suasana di dalam tembok istana Trowulan terasa sedikit lebih ringan. Dirgantara mendengar para pujangga dan abdi dalem berdebat dengan penuh semangat tentang kemungkinan “hadiah bintang” dari Raja Hayam Wuruk. Kisah itu telah menjadi cerita favorit di kalangan mereka, sebuah romansa agung yang untuk sementara waktu menutupi intrik politik yang lebih gelap.

Di saat yang sama, para prajurit Sunda kini membawa diri mereka dengan ketenangan yang angkuh. Mereka mengabaikan tatapan sinis dan sindiran-sindiran kecil, seolah itu semua terlalu rendah untuk mereka tanggapi. Disiplin mereka menjadi perisai kehormatan yang tak tertembus.

Dirgantara mengamati semua ini dengan kepuasan seorang ahli strategi, namun tidak ada kelegaan di dalam hatinya. Ia tahu ketenangan ini rapuh, setipis lapisan abu dingin di atas bara api yang masih menyala. Ia bisa merasakan Gajah Mada dan sekutunya bergerak. Keheningan mereka bukanlah pertanda kekalahan, melainkan pertanda bahwa mereka sedang merancang sebuah rencana baru yang kemungkinan besar akan jauh lebih mematikan. Ia sedang menunggu serangan balasan, dan penantian itu menggerogoti sarafnya.

Pada malam ketiga setelah syair “hadiah bintang” disebarkan, pesan rahasia itu datang lagi. Sebuah undangan singkat untuk bertemu di tempat biasa, di taman belakang pesanggrahan.

Dirgantara tiba di tepi kolam teratai beberapa saat sebelum tengah malam. Udara terasa sejuk, dan aroma bunga kamboja yang jatuh ke tanah memenuhi udara. Suara gemericik air dari pancuran bambu kecil menjadi satu-satunya musik di keheningan taman. Ia melihat Ratna Laras sudah berdiri di sana, menatap pantulan bulan di permukaan air kolam yang gelap. Sosoknya yang tegap tampak sendirian dan sedikit melankolis di tengah keindahan taman itu.

“Bisikanmu berhasil, Juru Kidung,” kata Ratna tanpa menoleh saat Dirgantara mendekat. “Orang-orang di istana lebih banyak membicarakan syairmu daripada permusuhan. Dan prajuritku … mereka kini lebih tenang.”

“Untuk saat ini,” balas Dirgantara, berdiri di sisinya. “Ini hanya memberi kita sedikit waktu.”

“Aku tidak suka menunggu,” kata Ratna, akhirnya berbalik menghadapnya. Wajahnya yang tersinari cahaya bulan tampak keras dan tidak sabar. “Ini semua hanya permainan bayangan, permainan kata-kata. Sementara kita bersembunyi dan berbisik, Gagak Suro, Srenggana, dan si ular Rakai Taji itu masih bebas merencanakan kebusukan mereka. Mereka adalah penyakit, dan penyakit tidak bisa disembuhkan dengan syair.”

Dirgantara sudah menduga arah percakapan ini. “Lalu apa yang kau usulkan, Nisanak?”

“Tindakan nyata,” jawab Ratna tegas. “Kita sudah tahu siapa mereka. Kita tahu mereka adalah ancaman langsung bagi Gusti Putri. Aku bisa mengirim dua prajurit terbaikku untuk menyergap Rakai Taji saat ia sendirian. Kita bawa dia ke hadapan Patih Anepaken, kita paksa ia mengaku. Kita seret persekongkolan ini keluar dari kegelapan ke tempat terang.”

Lihat selengkapnya