Ketenangan yang lahir dari perdebatan di tepi kolam itu terasa aneh dan rapuh. Di hari-hari berikutnya, Dirgantara dan Ratna tidak lagi bertemu secara rahasia. Tidak ada lagi pesan yang dikirimkan di tengah malam. Sebaliknya, sebuah pemahaman diam kini terjalin di antara mereka. Saat pandangan mereka bertemu di tengah keramaian pesanggrahan, ada anggukan kecil yang tak terlihat oleh orang lain, sebuah pengakuan akan aliansi mereka yang kini lebih dalam. Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama. Faksi Gajah Mada, yang frustrasi karena perang bisikan mereka gagal menciptakan kekacauan, memutuskan untuk menggunakan metode yang lebih kasar.
Serangan mereka datang pada suatu sore yang tenang, menyasar titik terlemah dalam sebuah delegasi kerajaan: kehormatan para dayang.
Salah satu dayang pribadi Putri Dyah Pitaloka, seorang gadis bernama Laksmi yang dikenal karena kejujuran dan sifatnya yang lembut, tiba-tiba dituduh mencuri. Tuduhan itu dilontarkan oleh seorang abdi dalem perempuan dari istana Majapahit yang ditugaskan melayani pesanggrahan. Barang yang hilang adalah sebuah tusuk konde berhiaskan permata, bukan barang yang tak ternilai, namun cukup berharga untuk menciptakan sebuah skandal.
Berita itu menyebar di dalam pesanggrahan secepat api di rumput kering. Suasana yang tadinya mulai sedikit rileks kini kembali tegang, bahkan lebih pekat dari sebelumnya. Ini adalah sebuah penghinaan yang terencana dengan sempurna. Jika seorang dayang pribadi sang putri terbukti sebagai pencuri, maka aib itu akan menodai seluruh rombongan, mengukuhkan citra mereka sebagai tamu yang tidak tahu adat dan tidak bisa dipercaya.
Dirgantara menyaksikan drama itu terungkap dari kejauhan. Ia melihat Laksmi yang malang menangis tersedu-sedu di pendopo utama, dikelilingi oleh para dayang lain yang berusaha menenangkannya sambil menatap marah ke arah para pelayan Majapahit yang berbisik-bisik di sudut. Patih Anepaken tampak gusar, mencoba menengahi dengan diplomasi, namun kata-katanya tenggelam dalam ketegangan yang memuncak.
Di tengah semua itu, Ratna Laras berdiri diam, wajahnya keras seperti batu pualam. Dirgantara bisa melihat badai berkecamuk di dalam dirinya. Sebagai komandan pengawal, adalah tugasnya untuk melindungi setiap anggota rombongan, termasuk kehormatan mereka.
Ia tahu ini adalah fitnah, sebuah jebakan yang dirancang untuk mempermalukan mereka. Nalurinya sebagai prajurit berteriak untuk melakukan konfrontasi langsung, menggeledah kamar si penuduh, menginterogasi para pelayan Majapahit dengan cara yang ia tahu akan berhasil. Namun, ia juga tahu itulah yang diinginkan musuh. Satu gerakan agresif dari pihaknya, dan seluruh rombongan Sunda akan dicap sebagai kaum barbar yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Ia terjebak. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, menahan amarah yang meluap-luap.
Saat itulah, Dirgantara melangkah maju, mendekati Ratna yang sedang berdiri di ambang ledakan emosi.
“Tenang, Nisanak,” bisiknya pelan, agar hanya Ratna yang bisa mendengar. “Kemarahan adalah api yang hanya akan membakar rumah kita sendiri. Biarkan aku mencoba.”
Ratna menoleh, matanya berkilat marah. “Mencoba apa, Juru Kidung? Melawan fitnah dengan syair? Menidurkan mereka dengan kidung?”
“Tidak,” jawab Dirgantara, tatapannya tenang dan fokus. “Melawan tipu muslihat dengan kecerdasan.” Ia menatap lurus ke mata Ratna. “Aku butuh sedikit waktu. Alihkan perhatian mereka. Lakukan apa pun agar situasi tidak memburuk selama beberapa saat ke depan. Percayalah padaku.”
Ada sesuatu dalam ketenangan Dirgantara yang membuat Ratna ragu. Ia teringat perdebatan mereka di tepi kolam, tentang jalan lain selain kekerasan. Dengan enggan, ia mengangguk sekali, sebuah isyarat kepercayaan yang rapuh.