Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #16

Bisikan di Ambang Bubat

Kemenangan kecil atas insiden tusuk konde membawa ketenangan yang menipu selama beberapa hari. Di permukaan, faksi Gajah Mada tampak menarik diri. Tidak ada lagi sindiran terbuka, tidak ada lagi tatapan menghina dari para prajurit mereka. Para abdi dalem istana yang melayani pesanggrahan menjadi lebih sopan, dan desas-desus tentang “hadiah bintang” dari Raja Hayam Wuruk terus menyebar, menciptakan lapisan tipis optimisme di udara Trowulan. Rombongan Sunda mulai sedikit bernapas lega, berpikir mungkin badai telah berlalu.

Namun, Dirgantara tidak merasakan kelegaan. Baginya, keheningan ini jauh lebih menakutkan daripada permusuhan terbuka. Ia tahu betul dari data sejarahnya bahwa sebuah konspirasi besar tidak akan menyerah hanya karena sebuah fitnah kecil gagal. Ini adalah ketenangan sebelum tsunami, saat air laut surut secara tidak wajar, membuai mereka yang tidak waspada ke dalam rasa aman palsu sebelum gelombang raksasa datang menghantam. Ia bisa merasakannya dalam tatapan Ratna Laras setiap kali pandangan mereka bertemu; wanita itu juga tidak tertipu. Keduanya menjadi penjaga yang terjaga di tengah perkemahan yang mulai tertidur.

Kecurigaan mereka terbukti benar saat sebuah pengumuman resmi datang dari istana. Upacara pernikahan akan dilangsungkan dalam tiga hari. Namun, prosesi penyerahan simbolis sang putri dari pihak Kerajaan Sunda ke pihak Kerajaan Majapahit tidak akan dilangsungkan di dalam istana utama. Dengan alasan untuk menghormati besarnya rombongan Sunda dan memberikan ruang yang lapang, upacara itu akan digelar di Pesanggrahan Bubat, sebuah lapangan luas di utara kota yang dinaungi pohon-pohon beringin.

Bagi sebagian besar bangsawan Sunda, berita ini terdengar masuk akal. Namun bagi Dirgantara dan Ratna, nama “Bubat” terdengar seperti lonceng kematian. Sebuah lapangan terbuka, jauh dari pusat kekuasaan dan mata Raja Hayam Wuruk, adalah lokasi yang sempurna, bukan untuk sebuah perayaan, melainkan untuk sebuah penyergapan.

Malam itu, panggilan rahasia dari Ratna datang lebih cepat dari biasanya. Tidak ada lagi pertemuan di taman. Prajurit kepercayaannya mencegat Dirgantara di koridor sepi dan hanya berbisik, “Di belakang lumbung padi. Sekarang.”

Dirgantara tiba di tempat yang ditentukan, sebuah area gelap di belakang bangunan penyimpanan beras pesanggrahan. Ratna sudah menunggunya, sosoknya nyaris menyatu dengan bayangan dinding. Wajahnya yang biasa tenang kini tampak pucat dan keras di bawah cahaya obor yang berkedip-kedip dari kejauhan. Tak ada lagi keraguan atau perdebatan di matanya, hanya kengerian yang dingin dan terkendali.

“Sebuah pemberitahuan paling berbahaya baru saja datang,” kata Ratna tanpa basa-basi, suaranya rendah dan mendesak. “Kau benar. Ketenangan ini adalah sebuah topeng.”

“Apa yang kau dengar?” tanya Dirgantara, jantungnya mulai berdebar lebih kencang.

Ratna menarik napas dalam-dalam. “Salah satu prajuritku, seorang pemuda cerdas bernama Jaka, berhasil berteman dengan salah satu penjaga Majapahit tingkat rendah. Mereka sering berbagi lintingan tembakau dan cerita tentang kampung halaman. Penjaga Majapahit itu, setelah minum terlalu banyak tuak dan dihantui rasa bersalah, akhirnya menceritakan apa yang ia dengar dari mulut Gagak Suro saat sedang mabuk.”

Lihat selengkapnya