Keputusasaan memiliki aroma yang khas. Di dalam pesanggrahan Sunda, aromanya seperti campuran bau minyak kelapa yang digunakan untuk merawat senjata, wangi kemenyan dari doa-doa yang dipanjatkan tanpa henti, dan keringat dingin dari rasa takut. Setelah Ratna menyebarkan berita tentang kemungkinan terburuk di Bubat, suasana berubah menjadi persiapan perang yang sunyi. Para prajurit tidak lagi berlatih dengan semangat, melainkan dengan efisiensi yang dingin dan mematikan. Setiap gerakan mereka kini memiliki tujuan akhir: membunuh atau dibunuh. Mereka sedang bersiap untuk mati dengan terhormat.
Dirgantara menyaksikan semua ini dari bayang-bayang, dan perasaan tak berdaya menggerogotinya seperti racun. Semua kecerdasan, semua data dari masa depan, terasa tidak berguna di hadapan baja dan amarah yang siap beradu. Ia bisa memprediksi tragedi, tapi ia merasa tak punya kekuatan fisik untuk mencegahnya. Ia adalah seorang arsitek yang hanya bisa menggambar di atas pasir, sementara gelombang pasang yang ganas siap menyapu bersih semuanya. Topeng juru kidung-nya kini terasa seperti sebuah beban yang mengejek. Apa gunanya kata-kata jika tak mampu menghentikan sebilah pedang?
Malam itu, ia menemukan Ratna Laras di halaman belakang, sendirian di bawah cahaya rembulan. Wanita itu sedang berlatih dengan kujang pusakanya, gerakannya adalah perpaduan sempurna antara keindahan dan kebrutalan. Setiap putaran tubuhnya mengalir, setiap sabetan bilahnya membelah udara dengan desisan tajam. Ia menari dengan kematian, mempersiapkan jiwanya untuk pertarungan terakhir.
Dirgantara mendekat dengan langkah pelan. Ratna berhenti bergerak, napasnya teratur meski keringat membasahi pelipisnya. Ia menatap Dirgantara, matanya bertanya-tanya tanpa perlu bersuara.
“Aku merasa … tidak berguna,” kata Dirgantara jujur, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku bisa melihat jaring laba-laba yang mereka tenun, tapi aku tidak punya taring untuk merobeknya.” Ia menatap kujang di tangan Ratna. “Aku tidak bisa hanya berdiri dan menonton saat kalian semua bertarung. Ajari aku.”
Ratna mengangkat alisnya. “Mengajarimu? Mengajarimu apa, Kisanak? Bertarung tidak bisa dipelajari dalam dua malam.”
“Bukan untuk menjadi seorang jawara,” balas Dirgantara. “Ajari aku dasar-dasarnya. Cara memegang senjata, cara menangkis serangan yang paling umum. Setidaknya, jika saatnya tiba, aku bisa melindungi diriku sendiri, atau mungkin melindungi orang lain. Jangan biarkan aku mati sebagai penonton.”
Ada keputusasaan yang tulus dalam suaranya, sebuah permohonan yang melucuti semua topeng puitisnya. Ratna menatapnya lama, menimbang permohonannya. Ia melihat di mata Dirgantara bukan ambisi seorang petarung, melainkan ketakutan seorang pria cerdas yang menyadari batas kemampuannya.
“Kujang adalah senjata yang sulit, butuh pemahaman mendalam,” kata Ratna akhirnya. Ia lalu berjalan ke rak senjata sederhana di sudut halaman dan mengambil dua bilah keris latihan yang terbuat dari kayu keras. Ia melemparkan salah satunya pada Dirgantara. “Kita mulai dengan ini.”