Keheningan yang menyelimuti halaman belakang itu lebih berat daripada keheningan mana pun di antara mereka sebelumnya. Pertanyaan Ratna Laras menggantung di udara malam yang dingin, tajam seperti bilah kujang di tangannya: “Darah macam apa yang mengalir di tubuhmu, Kisanak?”
Dirgantara berdiri membeku. Seluruh penyamarannya, seluruh lapis kebohongan puitis yang telah ia bangun dengan susah payah, kini terasa hancur berkeping-keping di hadapan satu bukti fisik yang tak terbantahkan. Ia bisa melihat badai pemikiran di mata Ratna. Wanita itu sedang mencoba mencocokkan apa yang baru saja ia lihat dengan semua yang ia ketahui tentang dunia, tentang luka, darah, sihir, dan para dewa. Tidak ada jawaban yang masuk akal.
Pikiran Dirgantara berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Implannya menyajikan ratusan alibi, namun semuanya terasa tidak memadai. Mengatakan kebenaran adalah hal yang mustahil. Terus berbohong terasa sia-sia. Ia terjebak. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa mengandalkan kecerdasan atau teknologinya. Ia hanya bisa mengandalkan satu hal: emosi.
Ia menarik napas panjang, sebuah isyarat kepasrahan yang tulus. Ia tidak mencoba menarik tangannya dari genggaman Ratna. Sebaliknya, ia membiarkannya tetap di sana, sebuah isyarat kepercayaan yang aneh di tengah situasi yang penuh kecurigaan.
“Aku tidak tahu harus menyebutnya darah apa, Nisanak,” katanya pelan, suaranya sarat akan kelelahan yang sesungguhnya. “Di tempat asalku, orang-orang menyebutnya anugerah. Terkadang, aku menyebutnya kutukan.”
Kata “kutukan” itu mengubah segalanya. Itu adalah kata yang dipahami oleh dunia Ratna. Sebuah kata yang menyiratkan penderitaan, bukan keunggulan. Seketika, tatapan Ratna yang tadinya penuh selidik sedikit melunak, digantikan oleh secercah rasa ingin tahu yang lebih berempati. Ia melepaskan tangan Dirgantara, namun tidak menjauh.
“Sebuah pusaka keluarga,” lanjut Dirgantara, merangkai sebuah kebenaran baru dari serpihan-serpihan kebohongan lamanya. “Sebuah ilmu kuno yang diwariskan turun-temurun. Ia melindungiku dari luka-luka kecil, tapi ia juga menandai diriku. Membuatku berbeda. Membuatku … sendirian.”
Di bawah cahaya bulan Trowulan, di sela-sela ketegangan misi mereka yang mematikan, dinding di antara mereka mulai runtuh. Keajaiban yang baru saja disaksikan Ratna menjadi sebuah jembatan, bukan jurang pemisah. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat Dirgantara sebagai seorang penyair cerdas atau mata-mata yang licik, melainkan sebagai sesama manusia yang membawa beban rahasianya sendiri.
“Aku mengerti rasanya menjadi berbeda,” kata Ratna pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia berjalan dan duduk di tepi kolam teratai, gerakannya kini tidak lagi waspada, melainkan tampak lelah. Dirgantara mengikutinya, duduk di jarak yang sopan.