Perasaan yang terlarang tidak lenyap seiring terbitnya fajar. Sebaliknya, ia membayangi setiap interaksi antara Dirgantara dan Ratna, menjadi hantu tak bersuara yang berdiri di antara mereka. Keheningan yang dulu penuh dengan kecurigaan kini berganti menjadi keheningan yang sarat akan kecanggungan. Mereka saling menghindari tatapan mata, takut jika orang lain bisa melihat rahasia baru yang mereka simpan bersama. Aliansi mereka yang tadinya didasari oleh logika dan kebutuhan kini terganggu oleh debaran jantung yang tak semestinya, sebuah komplikasi berbahaya yang tidak mereka inginkan.
Namun, konspirasi tidak pernah tidur hanya karena dua hati sedang gelisah. Faksi Gajah Mada, yang kini semakin frustrasi karena setiap rencana halus mereka berhasil dimentahkan, memutuskan bahwa sudah saatnya untuk meninggalkan bayang-bayang. Jika api tidak bisa disulut secara diam-diam, maka mereka akan menyulutnya di tempat terbuka, di hadapan semua orang.
Panggung mereka adalah pasar besar Trowulan, sebuah labirin jalan-jalan sempit yang selalu ramai, dipenuhi oleh hiruk pikuk ribuan suara dan aroma rempah-rempah yang tajam. Pasar adalah jantung kota, tempat semua kalangan berbaur, dan juga tempat di mana emosi bisa tersulut secepat api membakar jerami kering.
Pagi itu, sekelompok kecil prajurit Sunda, yang dipimpin oleh seorang komandan muda yang sedikit pemarah bernama Adipati Wirya, meminta izin kepada Ratna untuk pergi ke pasar. Tujuannya adalah untuk membeli beberapa bilah pisau ukir khas Majapahit sebagai oleh-oleh. Ratna, yang merasakan firasat buruk, awalnya ragu. Namun, melarang prajuritnya keluar dari pesanggrahan hanya akan menurunkan moral mereka dan membuatnya tampak seperti seorang komandan yang penakut. Dengan berat hati, ia memberikan izin, namun dengan satu peringatan keras.
“Ingat perintahku,” katanya pada Adipati Wirya, tatapannya tajam. “Jaga sikap kalian. Jangan terpancing. Kalian membawa kehormatan Nagari Sunda di pundak kalian. Satu kesalahan kecil akan menjadi noda bagi kita semua.”
Adipati Wirya mengangguk patuh, namun Ratna bisa melihat kilat ketidaksabaran di matanya. Ia adalah salah satu prajurit yang paling sulit menerima strategi kesabaran. Baginya, kehormatan harus dibela dengan ujung kujang, bukan dengan diam.
Dirgantara, yang kebetulan berada di dekat situ, mendengar percakapan itu. Sebuah alarm tak bersuara berbunyi di dalam benaknya. Prajurit yang mudah marah, diutus ke tengah keramaian musuh. Ini adalah resep sempurna untuk sebuah bencana. Firasat buruknya semakin kuat saat implannya, yang secara pasif terus memindai dan menganalisis pola percakapan di sekelilingnya, menangkap beberapa anomali. Ia mendengar bisik-bisik di antara para penjaga Majapahit di gerbang pesanggrahan, menyebut nama “Adipati Wirya” dan “pasar”. Itu bukan percakapan biasa. Itu adalah konfirmasi. Sebuah jebakan sedang dipasang.
Ia harus memperingatkan Ratna, namun ia tidak bisa melakukannya secara terbuka. Ia berjalan mendekati Ratna, yang masih berdiri menatap kepergian para prajuritnya dengan wajah cemas.
“Udara pagi ini terasa berat, Nisanak,” kata Dirgantara pelan, berpura-pura sedang mengomentari cuaca. “Seperti akan ada badai, meskipun langit terlihat cerah. Terkadang, seekor domba yang paling bersemangat adalah yang pertama kali digiring menuju tempat pembantaian.”
Ratna menoleh, matanya langsung menangkap makna tersembunyi di balik kiasan puitis itu. Wajahnya yang tadinya cemas kini mengeras menjadi topeng baja. Ia tidak bertanya apa-apa. Ia sudah mengerti. Ia hanya mengangguk sekali, sebuah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat, sebelum berbalik dan berjalan cepat menuju barak pengawalnya.
Dirgantara pun bergegas. Ia tidak bisa ikut campur secara langsung, namun ia harus menjadi mata di lapangan. Ia mengambil jalan memutar dan tiba di pasar besar lebih dulu, membaur dengan kerumunan, jubah juru kidung-nya menjadi kamuflase yang sempurna.