Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #20

Filosofi Sang Naga

Malam setelah insiden di pasar terasa berbeda. Ketenangan yang menyelimuti pesanggrahan Sunda bukanlah ketenangan yang damai, melainkan ketenangan yang tegang, seperti udara sesaat setelah petir menyambar di kejauhan. Kemenangan mereka di pasar tidak membawa perayaan, hanya sebuah kesadaran yang pahit akan betapa tipisnya benang yang menahan mereka dari jurang pertumpahan darah.

Di pendopo utama, Dirgantara menyaksikan adegan yang membuatnya mengerti harga dari kemenangan itu. Di bawah cahaya beberapa obor, Ratna Laras berdiri berhadapan dengan Adipati Wirya dan para prajurit yang terlibat dalam insiden tadi siang. Tidak ada teriakan, tidak ada amarah yang meluap-luap. Yang ada justru lebih buruk: keheningan yang dingin dan tatapan mata Ratna yang tajam laksana bilah es.

“Kau membahayakan nyawa Gusti Putri,” kata Ratna, suaranya rendah namun memotong tajam di keheningan malam. “Kau membahayakan kehormatan Nagari Sunda. Kau menelan umpan mereka seperti seekor ikan yang bodoh. Amarahmu telah membuatmu buta, dan kebutaan seorang prajurit adalah undangan bagi kematian rekan-rekannya.”

Adipati Wirya, yang siangnya begitu angkuh, kini berdiri dengan kepala tertunduk. “Saya … hanya tidak tahan melihat harga diri kita diinjak-injak, Nyi Laras.”

“Harga diri?” desis Ratna. “Harga diri adalah tameng, bukan pedang yang kau ayunkan membabi buta. Disiplin adalah harga diri. Ketenangan adalah harga diri. Menjalankan perintah komandanmu adalah harga diri. Apa yang kau tunjukkan tadi siang adalah kelemahan.” Ia menatap setiap prajurit satu per satu. “Mulai besok, kalian semua kembali ke latihan dasar. Aku sendiri yang akan mengawasimu. Pergilah.”

Para prajurit itu membungkuk dalam-dalam dan pergi dalam diam, meninggalkan Ratna sendirian di tengah pendopo. Ia tidak langsung bergerak, hanya berdiri membelakangi Dirgantara, bahunya yang tegap tampak memikul beban yang tak terlihat. Dirgantara melihat bukan hanya seorang komandan yang tegas, melainkan seorang pemimpin yang terpaksa mematahkan semangat pasukannya sendiri demi menyelamatkan mereka.

Ia mendekat dengan perlahan. “Itu bukan hal yang mudah,” katanya pelan.

Ratna tidak menoleh. “Menjadi pemimpin memang tidak pernah mudah, Kisanak. Terkadang, kau harus menjadi makhluk buas untuk melindungi domba-dombamu dari serigala.”

“Kau bukan makhluk buas, Nisanak,” balas Dirgantara. “Kau adalah benteng. Dan setiap benteng harus menahan gempuran dari luar dan dalam.”

Ratna akhirnya menoleh. Di matanya, Dirgantara melihat kelelahan yang luar biasa. “Terima kasih atas peringatanmu tadi siang. Tanpamu, aku mungkin akan terlambat. Darah mungkin akan tumpah.”

Lihat selengkapnya