Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #21

Saksi Kunci di Sarang Naga

Kepercayaan yang baru terjalin di antara Dirgantara dan Ratna mengubah segalanya. Malam-malam berikutnya, pertemuan mereka di taman belakang tidak lagi terasa seperti pertemuan dua konspirator yang waspada, melainkan seperti rapat dewan perang dua orang. Mereka tidak lagi hanya berbagi informasi; mereka kini berbagi beban. Keintiman yang lahir dari kejujuran itu menjadi sumber kekuatan baru, sebuah jangkar di tengah lautan intrik yang semakin bergejolak.

Mereka tahu bahwa Gagak Suro dan sekutunya, setelah dipermalukan di pasar, tidak akan tinggal diam. Mereka akan merencanakan sesuatu yang lebih tersembunyi, lebih licik, dan kemungkinan besar menyasar langsung pada kehormatan Putri Dyah Pitaloka untuk memaksa pembatalan pernikahan. Waktu mereka hampir habis.

“Kita tidak bisa selamanya hanya memadamkan api yang mereka sulut,” kata Ratna pada suatu malam yang berangin, suaranya tegas. “Setiap kali kita berhasil, mereka hanya akan menyulut api lain di tempat yang berbeda. Kita seperti mengejar bayangan.”

“Kau benar,” sahut Dirgantara. Ia menatap Ratna, melihat tekad baja di mata sekutunya itu. “Selama ini kita hanya bereaksi. Sudah saatnya kita yang memulai permainan.”

“Apa rencanamu?” tanya Ratna. “Menyebarkan syair lain? Aku ragu Gajah Mada akan terpengaruh oleh kidung untuk kedua kalinya.”

“Bukan,” kata Dirgantara. “Bukan dengan syair. Kita membutuhkan sesuatu yang tidak bisa mereka bantah. Sesuatu yang lebih kuat dari kabar angin, lebih tajam dari fitnah. Kita butuh bukti.”

Ratna mendengus pelan. “Bukti? Kita sudah tahu siapa mereka dan apa rencana mereka. Tapi bagaimana kita membuktikannya? Lontar perintah yang kita bakar tempo hari? Itu sudah menjadi abu. Bisikan seorang prajurit mabuk? Itu akan dianggap angin lalu. Kita tidak punya apa-apa, Kisanak.”

“Kita akan mendapatkannya,” kata Dirgantara, matanya berkilat dengan intensitas yang mengejutkan Ratna. “Jika kita tidak bisa mencuri bukti fisik dari tangan mereka, maka kita akan menciptakan bukti itu sendiri. Bukti yang hidup.”

Ratna menatapnya, bingung. “Bukti yang hidup?”

“Seorang saksi,” jelas Dirgantara. “Kita butuh seseorang dari pihak mereka, seseorang yang berada di lingkaran dalam konspirasi itu, yang bisa maju dan memberikan kesaksian di hadapan Raja Hayam Wuruk. Kesaksian seorang abdi dalem Majapahit akan memiliki bobot seribu kali lebih berat daripada tuduhan dari seluruh rombongan Sunda.”

Ide itu begitu berani, begitu nekat, hingga Ratna terdiam. Mencari pengkhianat di sarang musuh yang paling setia adalah tugas yang nyaris mustahil. “Orang-orang Gajah Mada dikenal karena kesetiaan mereka yang fanatik,” katanya skeptis. “Mereka lebih baik mati daripada mengkhianati sumpahnya. Siapa yang akan berani bersaksi melawannya?”

“Setiap rantai memiliki mata rantai terlemah,” balas Dirgantara. “Kita hanya perlu menemukannya.”

Lihat selengkapnya