Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #22

Menjaga Nyala Lilin

Malam itu, saat Dirgantara menceritakan pertemuannya dengan Bayan di pura kecil, Ratna Laras mendengarkan dalam keheningan yang tegang. Ia tidak menunjukkan kelegaan atau optimisme. Sebaliknya, wajahnya yang tersinari cahaya bulan tampak semakin keras, garis-garis kekhawatiran terlihat jelas di sudut matanya.

“Kau baru saja menyalakan sebuah obor di tengah sarang serigala, Kisanak,” katanya setelah Dirgantara selesai bercerita. Suaranya rendah, nyaris seperti desisan. “Mereka mungkin tidak tahu siapa dirimu, tapi mereka akan melihat cahaya dari hati nurani Bayan yang goyah. Dan mereka akan datang untuk memadamkannya.”

“Itulah risiko yang harus kita ambil,” balas Dirgantara. “Tanpa kesaksiannya, kita hanya punya tuduhan kosong.”

“Dan kesaksiannya tidak akan ada gunanya jika ia mati,” potong Ratna. Ia bangkit, mondar-mandir di taman yang sunyi itu seperti seekor macan kumbang yang gelisah. Ini adalah dunianya sekarang. Dunia perlindungan, dunia bayang-bayang. Strategi puitis telah berakhir; kini saatnya taktik seorang prajurit. “Mulai sekarang, aku akan menempatkan orang untuk mengawasinya. Tapi ini sangat berbahaya. Jika prajuritku ketahuan mengawasi seorang abdi dalem Majapahit, itu bisa dianggap sebagai tindakan agresi.”

“Lakukan dengan caramu, Nisanak,” kata Dirgantara, menaruh kepercayaan penuh padanya. “Kau adalah ahlinya dalam permainan ini.”

Kekhawatiran Ratna terbukti lebih cepat dari yang mereka duga. Keesokan harinya, saat jam makan siang yang ramai di dapur istana, Rakai Taji, sang arsitek konspirasi yang pendiam, ‘secara tidak sengaja’ berpapasan dengan Bayan di sebuah koridor yang sepi.

Bayan, yang melihat perwira intelijen itu, langsung menunduk dalam-dalam dan mencoba berjalan lewat dengan cepat. Namun, Rakai Taji menghentikannya dengan meletakkan satu tangan di bahunya. Sentuhan itu terasa ringan, namun bagi Bayan, rasanya seperti cengkeraman baja yang dingin.

“Ki Bayan,” sapa Rakai Taji, suaranya halus dan ramah, namun matanya yang kecil dan tajam sama sekali tidak tersenyum. “Kau tampak pucat akhir-akhir ini. Semoga tidak ada yang mengganggu pikiranmu.”

“Ti-tidak ada, Gusti Rakai,” jawab Bayan, suaranya tergagap, keringat dingin mulai membasahi keningnya. “Hanya … hanya sedikit lelah.”

Rakai Taji tersenyum tipis. “Ah, kelelahan memang penyakit yang berbahaya. Bisa membuat pikiran kalut, bahkan membuat seseorang melupakan tempatnya.” Ia menepuk bahu Bayan dua kali, sedikit lebih keras. “Kesetiaan adalah obat terbaik untuk pikiran yang gelisah, Ki Bayan. Ingatlah di mana kesetiaanmu berada. Keluarga di rumah pasti akan sangat sedih jika kau sampai jatuh sakit karena terlalu banyak pikiran.”

Lihat selengkapnya