Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #23

Bisikan di Telinga Raja

Malam-malam berikutnya di pesanggrahan Sunda terasa panjang dan penuh dengan napas yang ditahan. Perlindungan rahasia terhadap Bayan dan keluarganya berjalan tanpa cela, sebuah tarian bayangan yang dipimpin langsung oleh Ratna Laras. Setiap fajar, prajuritnya yang menyamar akan melaporkan hal yang sama: orang-orang Gagak Suro masih berjaga di kejauhan, tidak menyerang, hanya melingkar seperti serigala, menunggu perintah dari tuannya untuk menerkam. Intimidasi psikologis itu perlahan tapi pasti menggerogoti jiwa sang saksi kunci.

Dalam pertemuan mereka di taman yang kini menjadi ruang dewan perang mereka, Ratna melaporkan situasinya dengan wajah yang keras karena kurang tidur. “Dia hancur, Kisanak. Pria itu seperti guci retak yang siap pecah kapan saja. Jaka melaporkan bahwa ia nyaris tidak makan, dan istrinya tak henti-hentinya menangis. Jika kita tidak segera memberinya jalan keluar, rasa takutnya akan menelannya hidup-hidup, dan ia akan bungkam selamanya, membawa rahasia itu bersamanya ke liang lahat.”

Dirgantara mengangguk, merasakan beban penderitaan keluarga Bayan di pundaknya. “Kau benar. Perlindungan pasif tidak akan memenangkan pertempuran ini. Kita hanya menunda yang tak terhindarkan.” Ia menatap Ratna, matanya berkilat dengan ide baru yang berbahaya, sebuah pertaruhan terakhir. “Kita butuh pelindung yang lebih kuat untuk Bayan. Seseorang yang bahkan Gajah Mada sekalipun akan segan untuk menentangnya secara terbuka.”

“Siapa?” tanya Ratna skeptis. “Tidak ada orang seperti itu di seluruh mandala Majapahit.”

“Ada,” jawab Dirgantara. “Satu-satunya orang di seluruh Majapahit yang kekuasaannya setara, bahkan secara teknis melampaui, sang Mahapatih. Rajanya sendiri.”

Ratna menatapnya seolah ia sudah gila. “Raja Hayam Wuruk? Kau menaruh nasib kita pada selembar daun lontar dan telinga seorang raja muda yang mungkin lebih peduli pada selirnya daripada urusan negara? Gajah Mada mengendalikan setiap pintu, setiap koridor, setiap telinga yang ada di antara kita dan singgasananya. Setiap pesan yang kita kirim akan dicegat dan dibaca oleh Rakai Taji sebelum sempat mengering tintanya.”

“Itulah mengapa kita tidak akan mengirim pesan melalui kurir,” kata Dirgantara. “Kita tidak akan melawannya dengan pedang, jadi kita akan melawannya dengan syair.” Melihat kebingungan di wajah Ratna, ia melanjutkan, “Hayam Wuruk memujiku sebagai Juru Kidung. Ia menyukai seniku. Gajah Mada dan orang-orangnya kini melihatku sebagai seorang seniman yang naif, seorang pengganggu yang tidak berbahaya. Mereka meremehkanku. Dan keangkuhan mereka itulah keuntungan terbesar kita.”

Rencana Dirgantara begitu berani dan tak lazim hingga Ratna hanya bisa mendengarkan dalam diam. Dirgantara tidak akan menulis sebuah laporan atau tuduhan. Ia akan menulis sebuah puisi alegoris yang sangat cerdas, sebuah dongeng yang di dalamnya tersembunyi sebuah peringatan. Sebuah pesan yang hanya ditujukan untuk Raja.

Malam itu, di dalam keheningan biliknya, Dirgantara bekerja di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip. Ini bukan sekadar menulis; ini adalah penempaan sebuah senjata. Di dalam benaknya, implannya bekerja, bukan untuk memandu ototnya dalam bertarung, melainkan untuk menyaring ribuan data tentang sastra Jawa kuno. Ia menelusuri karya-karya pujangga agung masa lalu, mempelajari irama, pilihan kata, dan gaya kiasan yang akan terdengar akrab dan agung di telinga seorang raja terpelajar seperti Hayam Wuruk.

Ia mengambil selembar daun lontar yang halus. Prosesnya lambat dan penuh konsentrasi. Ia tidak menulis tentang konspirasi atau pengkhianatan secara langsung. Itu akan terlalu kasar, terlalu berbahaya. Ia harus membungkus peringatannya dalam lapisan-lapisan keindahan, seperti racun yang disembunyikan di dalam anggur termanis.

Ia mulai menulis, menggoreskan aksara kuno dengan pisau tulis kecil. Syair itu berkisah tentang seorang Raja Hutan yang bijaksana dan agung, yang memerintah dengan adil. Di sisinya, berdiri seekor Singa tua yang perkasa, penjaganya yang paling setia, yang sumpahnya untuk memperluas hutan terdengar hingga ke ujung dunia.

Syair itu lalu menceritakan tentang datangnya serombongan Merpati Putih dari hutan seberang, membawa ranting zaitun sebagai tanda persahabatan dan persatuan. Namun, di dalam hutan sang Raja, hidup sekawanan Serigala licik yang berbulu domba. Para serigala ini tidak suka pada kedamaian, karena mereka hanya bisa berpesta di tengah kekacauan dan pertumpahan darah.

Syair itu mencapai puncaknya saat para serigala itu setiap malam berbisik di telinga sang Singa tua, meracuni pikirannya dengan kebohongan-kebohongan manis.

“Dengarlah, Sang Singa, penjaga takhta yang perkasa,

Lihat selengkapnya