Keheningan yang mengikuti pengiriman syair itu adalah sebuah siksaan. Selama dua hari, Dirgantara dan Ratna menunggu sebuah pertanda, sebuah gema dari bisikan yang telah mereka kirimkan ke telinga sang raja. Namun, istana Majapahit tetap diam. Tidak ada panggilan rahasia, tidak ada perubahan perintah, tidak ada satu pun isyarat bahwa pesan mereka telah diterima dan dipahami. Keheningan itu sendiri adalah sebuah jawaban yang mengerikan, menyiratkan salah satu dari tiga kemungkinan yang sama-sama buruk: syair itu tidak pernah sampai ke tangan Raja, Hayam Wuruk tidak mengerti kiasan di dalamnya, atau yang paling menakutkan, ia mengerti namun memilih untuk tidak bertindak.
Bagi Dirgantara, ketidakpastian ini lebih menyiksa daripada ancaman terbuka. Implannya tidak bisa memprediksi isi hati seorang raja. Data sejarah hanya mencatat tindakan, bukan keraguan. Ia merasa seperti telah meluncurkan satu-satunya anak panah yang ia miliki ke dalam benteng yang gelap, dan kini ia hanya bisa menunggu, tanpa tahu apakah anak panah itu mengenai sasaran atau hanya lenyap ditelan kegelapan.
Lalu, pada sore hari kedua, perintah resmi itu datang. Sebuah titah yang dibawa oleh perwira istana, ditulis dengan aksara yang anggun di atas lontar berkualitas terbaik, dicap dengan segel kerajaan. Rombongan Kerajaan Sunda diperintahkan untuk bersiap. Esok pagi, saat matahari terbit, mereka akan diarak menuju Pesanggrahan Bubat untuk melaksanakan upacara agung. Perintah itu ditulis dengan bahasa yang penuh kehormatan, namun bagi Dirgantara dan Ratna, setiap kata terasa seperti kalimat vonis mati.
Permainan telah berakhir. Papan catur telah diatur untuk partai terakhir. Dan mereka dipaksa untuk berjalan menuju petak di mana skakmat telah menanti.
Malam itu, pesanggrahan Sunda tidak lagi diisi oleh tawa atau alunan musik. Suasananya telah berubah menjadi sebuah perkemahan militer yang sunyi dan khusyuk. Dirgantara berjalan melewati halaman, dan apa yang ia lihat mengiris hatinya. Ia melihat para prajurit duduk berkelompok di bawah cahaya obor. Mereka tidak berbicara banyak. Sebagian dari mereka mengasah bilah kujang dan pedang mereka dengan batu asah, suara gesekan logam yang ritmis menjadi satu-satunya musik malam itu. Sebagian lain terlihat sedang merawat zirah kulit mereka, mengolesinya dengan minyak agar lebih liat. Beberapa prajurit yang lebih tua duduk menyendiri, menulis sesuatu dengan lambat di atas daun lontar. mungkin sebuah pesan terakhir untuk keluarga yang tak akan pernah mereka temui lagi.
Tidak ada kepanikan. Tidak ada ketakutan yang liar. Yang ada hanyalah sebuah kesiapan yang grimis, sebuah keteguhan hati dari orang-orang yang telah menerima takdir mereka. Mereka tahu ke mana mereka akan pergi besok. Mereka tahu kemungkinan besar mereka tidak akan kembali. Namun, mereka akan menghadapinya dengan kepala tegak, demi kehormatan raja dan putri mereka. Dirgantara merasa sangat terasing. Ia adalah satu-satunya orang di sana yang tahu bahwa kehormatan mereka sedang digiring menuju sebuah pembantaian yang terencana. Beban pengetahuan itu terasa lebih berat dari gunung mana pun.
Ia melihat Ratna Laras bergerak di antara para prajuritnya. Ia tidak lagi hanya seorang komandan; ia adalah seorang ibu, seorang kakak, seorang pemimpin spiritual. Ia berhenti di setiap kelompok, menepuk pundak seorang prajurit, memeriksa ikatan tali zirah yang lain, dan membagikan kata-kata yang tenang dan membangkitkan semangat. Wajahnya adalah topeng ketenangan yang sempurna, namun Dirgantara, yang kini telah belajar membaca kerapuhan di baliknya, bisa melihat sorot mata yang sarat akan kepedihan. Ia sedang mengantarkan orang-orang yang ia sumpah untuk pimpin menuju kematian mereka.
Saat tengah malam hampir tiba, Dirgantara menerima pesan terakhir. Pertemuan di taman, di tepi kolam. Ia tahu ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka sebelum puncak krisis.
Ia menemukan Ratna sudah berdiri di sana, menatap pantulan bulan di air, sama seperti pada malam-malam sebelumnya. Namun kali ini, ada aura finalitas di sekelilingnya.