Fajar di Trowulan merayap perlahan, seolah enggan untuk memulai hari yang telah ditakdirkan. Kabut tipis menggantung di atas atap-atap bata merah dan kanal-kanal yang tenang, meredam suara azan Subuh yang menggema dari kejauhan. Di dalam pesanggrahan Sunda, tidak ada yang tidur nyenyak malam itu. Saat Dirgantara melangkah keluar dari biliknya, ia disambut oleh suasana khusyuk yang terasa lebih seperti persiapan perang daripada persiapan upacara.
Udara dingin dipenuhi oleh aroma dupa yang dibakar dan desis pelan logam yang sedang diasah. Di halaman, para prajurit Sunda, yang kini telah mengenakan zirah kulit terbaik mereka, bergerak dalam keheningan yang disiplin. Mereka tidak berbicara, hanya bekerja, mata mereka fokus, setiap gerakan penuh dengan tujuan. Ada yang sedang memeriksa tali busurnya, ada yang mengikatkan pelindung lengan, dan ada yang sekadar duduk bersila dengan kujang tergeletak di pangkuan, bibirnya menggumamkan doa-doa dalam bahasa kuno. Mereka adalah pria-pria yang telah berdamai dengan kemungkinan terburuk, dan kini hanya memikirkan satu hal: bagaimana cara membawa sebanyak mungkin musuh bersama mereka jika saatnya tiba.
Para bangsawan dan dayang juga telah mengenakan pakaian mereka yang paling megah. Kain-kain sutra berwarna cerah, sulaman benang emas, dan perhiasan yang berkilauan. Kemegahan itu terasa tragis, sebuah perayaan warna-warni di ambang pemakaman. Dirgantara melihat Laksmi, dayang muda yang pernah ia tenangkan, kini berdiri dengan wajah pucat namun tegar, membantu mengenakan pakaian kebesaran pada Putri Dyah Pitaloka di dalam bilik utama yang tertutup. Ia melihat Adipati Wirya yang biasanya angkuh, kini berdiri diam di samping ayahnya, wajahnya serius dan bebas dari kesombongan. Malam yang panjang telah mendewasakan mereka semua.
Dirgantara sendiri mengenakan pakaian Juru Kidung-nya yang sederhana. Di antara semua kemegahan itu, ia adalah sosok yang paling tidak mencolok, namun hatinya adalah yang paling bergejolak. Setiap wajah yang ia lihat, setiap prajurit yang ia lewati, terasa seperti sebuah tanggung jawab personal. Ia telah gagal. Syairnya tidak digubris. Peringatannya tidak didengar. Kini, ia hanya bisa berjalan bersama mereka menuju ladang pembantaian yang telah ia lihat dalam arsip sejarah.
Saat matahari akhirnya menampakkan dirinya di ufuk timur, rombongan itu mulai bergerak. Sebuah prosesi yang agung dan memilukan. Di depan, barisan prajurit berjalan dengan langkah tegap, panji-panji Kerajaan Sunda berkibar menantang di udara pagi. Di belakang mereka, tandu kebesaran yang membawa Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka diusung dengan penuh hormat. Diikuti oleh para bangsawan, para dayang, dan ditutup oleh barisan pengawal elite di bawah komando langsung Ratna Laras yang menunggang kuda dengan punggung lurus seperti sebatang tombak.
Mereka bergerak meninggalkan pesanggrahan, melewati jalan-jalan utama Trowulan menuju gerbang utara. Penduduk kota telah berbaris di sepanjang jalan untuk menyaksikan arak-arakan itu. Tatapan mereka kini sulit dibaca. Ada rasa ingin tahu, ada kekaguman pada kemegahan rombongan Sunda, namun ada juga kilat aneh di mata mereka, sebuah antisipasi, seolah mereka tahu akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang luar biasa hari ini. Suasana di seluruh kota terasa tegang, seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang.
Dirgantara, yang berjalan di antara para musisi, terus memindai sekelilingnya. Ia bukan lagi seorang Juru Kidung yang naif; ia adalah seorang agen di wilayah musuh, dan setiap inderanya waspada pada tingkat tertinggi. Implannya secara pasif menganalisis kerumunan, mencari wajah-wajah yang dikenalnya, wajah Gagak Suro, Rakai Taji, namun ia tidak melihat mereka. Ketiadaan mereka justru lebih mengancam. Sang sutradara tidak perlu berada di atas panggung saat drama berdarah dimulai.