Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #26

Pesan di Atas Tanah Liat

Pesanggrahan Bubat bukanlah sebuah bangunan, melainkan sebuah hamparan keindahan yang menipu. Padang rumput yang hijau dan luas terbentang di bawah naungan beberapa pohon beringin kuno yang megah, memberikan keteduhan dari sengatan matahari Trowulan yang panas. Di tengah lapangan, beberapa pendopo kayu sementara telah didirikan, dihiasi dengan panji-panji gula kelapa milik Majapahit. Semuanya tampak damai, megah, dan disiapkan untuk sebuah perayaan.

Namun, kedamaian itu adalah sebuah kebohongan.

Saat rombongan Kerajaan Sunda mulai memasuki lapangan dan mengatur posisi, Dirgantara merasakan jerat itu akhirnya mengetat. Pasukan Majapahit yang ia lihat di kejauhan kini tidak lagi bersembunyi. Mereka telah keluar dari barisan pepohonan dan membentuk sebuah barisan panjang yang longgar di sepanjang sisi timur dan selatan lapangan. Itu bukanlah formasi penyambutan. Itu adalah formasi pengepungan yang disamarkan dengan tipis. Mereka tidak menghalangi jalan masuk, namun mereka telah menutup semua jalan keluar.

Keputusasaan mulai menjalari Dirgantara. Dingin dan berat. Ia menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Para prajurit Sunda, yang kini berdiri dalam barisan-barisan siaga di sekitar tandu kerajaan, memasang wajah keras, tangan mereka tak pernah lepas dari senjata. Para bangsawan mencoba mempertahankan ketenangan mereka, namun mata mereka yang terus melirik gelisah ke arah barisan pasukan Majapahit mengkhianati ketakutan mereka. Semua rencana mereka telah gagal. Syairnya untuk sang raja tidak menghasilkan apa-apa. Mereka telah berjalan lurus ke dalam mulut naga.

Ia mencari tatapan Ratna Laras. Wanita itu sedang memberikan perintah-perintah terakhir kepada para komandan regunya dengan suara rendah dan tenang. Namun, saat mata mereka bertemu sejenak, Dirgantara bisa melihatnya: sebuah penerimaan takdir yang grimis. Ratna tidak lagi berharap untuk menang; ia hanya bersiap untuk memastikan musuh membayar harga yang sangat mahal untuk kemenangan mereka. Asa telah padam.

Di tengah suasana yang sarat akan kepasrahan inilah, sebuah anomali terjadi.

Sesosok tubuh kecil dan ringkih terlihat berlari terengah-engah dari arah kota, melintasi lapangan terbuka menuju perkemahan Sunda. Itu adalah seorang pria tua, pakaiannya compang-camping dan wajahnya pucat pasi karena ketakutan dan kelelahan. Para penjaga Sunda di barisan terluar segera mengangkat tombak mereka, siap menghadang penyusup itu.

“Berhenti!” seru salah satu penjaga.

“Jangan!” teriak Ratna dan Dirgantara nyaris bersamaan. Mereka berdua mengenali pria itu. Karta. Abdi dalem tua dari dapur istana, kontak rahasia mereka.

Ratna memberi isyarat agar Karta diizinkan lewat. Pria tua itu jatuh berlutut di hadapan Ratna dan Dirgantara, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar hebat.

“Nyi Laras … Tuan Juru Kidung …” isaknya, air mata mengalir di pipinya yang keriput. “Ki Bayan … Ki Bayan …”

Lihat selengkapnya