Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #27

Di Tepi Jurang Pertumpahan Darah

Harapan adalah hal yang aneh dan berbahaya. Selama beberapa saat yang terasa abadi, setelah Karta menyerahkan lempengan tanah liat itu dan menghilang kembali ke dalam kerumunan, Dirgantara dan Ratna hanya bisa menatap bukti di tangan mereka. Benda itu terasa dingin dan padat, sebuah jangkar kebenaran di tengah lautan keputusasaan. Kabut kepasrahan yang tadinya menyelimuti hati mereka kini terkoyak, digantikan oleh secercah harapan yang begitu tajam dan menyakitkan, karena ia datang di saat-saat terakhir, di ambang kehancuran.

Namun, waktu tidak berpihak pada mereka.

Di seberang lapangan yang hijau, barisan depan para bangsawan Majapahit yang dipimpin oleh Gagak Suro mulai bergerak maju dengan langkah yang disengaja dan angkuh. Genderang tak bersuara dari takdir yang mendekat mulai berdetak semakin kencang. Setiap langkah mereka adalah hitungan mundur menuju pertumpahan darah.

Keputusasaan mulai menjalari Dirgantara. Dingin dan berat. Implannya bekerja tanpa henti, menyajikan data probabilitas yang suram di benaknya: Peluang selamat rombongan Sunda jika terjadi pertempuran: 0.03%. Ia menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Para prajurit Sunda, yang kini berdiri dalam barisan-barisan siaga di sekitar tandu kerajaan, memasang wajah keras, tangan mereka terkepal di gagang kujang dan pedang. Mereka adalah batu karang yang siap dihantam badai. Para bangsawan mencoba mempertahankan ketenangan mereka, namun wajah mereka pucat dan mata mereka yang terus melirik gelisah ke arah barisan pasukan Majapahit mengkhianati ketakutan mereka.

Di dalam keheningan tandu kebesaran, Raja Linggabuana menatap putrinya, Dyah Pitaloka. Sang putri tidak menangis. Wajahnya pucat, namun matanya yang indah menatap ayahnya dengan ketegaran yang luar biasa. Ia telah melepaskan semua perhiasannya, kecuali satu tusuk konde sederhana, seolah bersiap untuk sebuah perjalanan terakhir yang tidak membutuhkan kemewahan duniawi.

“Ayahanda,” bisik sang putri, suaranya lembut namun mantap. “Apapun yang terjadi, jangan biarkan mereka merendahkan kehormatan Nagari Sunda.”

Raja Linggabuana merasakan gelombang kebanggaan dan kepedihan yang luar biasa. Ia mengelus rambut putrinya. “Kehormatan adalah satu-satunya pusaka yang akan kita bawa saat menghadap para dewa, putriku,” katanya. Ia lalu menegakkan tubuhnya, dan saat ia melangkah keluar dari tandu, ia bukan lagi seorang ayah yang berduka; ia adalah singa dari tanah Pasundan, siap untuk mengaum terakhir kalinya.

Keheningan yang mencekam itu pecah saat barisan depan pasukan Majapahit terbelah. Gagak Suro, sang penghasut, melangkah maju dengan langkah angkuh. Ia diapit oleh Adipati Srenggana dan beberapa perwira tinggi lainnya. Wajahnya dihiasi senyum kemenangan yang sinis. Ia telah berhasil menggiring mangsanya tepat ke dalam perangkap yang telah ia siapkan dengan cermat. Ia berhenti beberapa puluh langkah di hadapan barisan Sunda, jarak yang cukup dekat untuk berbicara namun cukup jauh untuk tetap aman.

“Hormat kami kepada rombongan agung dari Nagari Sunda!” serunya, suaranya lantang dan penuh dengan kepalsuan yang menusuk, sengaja ia buat agar menggema di seluruh lapangan. “Sesuai dengan adat dan keagungan Sri Baginda Raja Majapahit, kini tibalah saatnya bagi kalian untuk mempersembahkan tanda takluk dan kesetiaan!”

Ia berhenti sejenak, membiarkan penghinaan itu meresap.

Lihat selengkapnya