Waktu seolah membeku sesaat setelah pekikan perintah Ratna Laras membelah udara. Bagi Dirgantara, momen itu terentang dalam keabadian yang sunyi, sebuah lukisan hidup yang ia saksikan dengan kejernihan yang mengerikan. Ia melihat wajah-wajah prajurit Sunda yang bingung namun patuh, tatapan kaget dari barisan depan Majapahit yang siap menyerang, dan senyum sinis di wajah Gagak Suro yang mulai memudar, digantikan oleh kerutan kebingungan. Seluruh lapangan, yang tadinya bergetar oleh genderang perang yang tak bersuara, kini terdiam, menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lalu, keheningan itu pecah menjadi kekacauan yang terkendali.
Jaka dan Laksana, dua prajurit terbaik Sunda, bergerak seperti dua ekor banteng yang mengamuk. Mereka tidak menyerang maju, melainkan berbalik dan menghantam barisan prajurit mereka sendiri. Bukan dengan bilah senjata, melainkan dengan bahu dan gagang perisai.
“BUKA JALAN!” aum mereka, mendorong rekan-rekan mereka yang terkejut ke samping.
Para prajurit Sunda, yang nalurinya menyuruh mereka untuk merapatkan barisan, menjadi bingung oleh perintah yang tak lazim dan terasa seperti tindakan bunuh diri ini. Namun, rasa hormat mereka pada Ratna Laras lebih besar daripada kebingungan mereka. Dengan ragu, mereka memberi jalan, menciptakan sebuah celah sempit dan kacau di tengah lautan prajurit Sunda. Sebuah jalan lurus yang langsung mengarah ke tanah kosong di antara dua pasukan yang siap berperang.
“Sekarang!” desis Ratna, tangannya mencengkeram lengan Dirgantara, menariknya dari kelumpuhan sesaat.
Itulah satu-satunya dorongan yang dibutuhkan Dirgantara. Ia mulai berlari, jantungnya serasa meledak di dalam dada, memompa adrenalin dan ketakutan dalam dosis yang sama. Ia berlari melewati lorong manusia yang baru saja tercipta, diapit oleh wajah-wajah rekan seperjalanannya yang menatapnya dengan campuran kaget, kebingungan, dan secercah harapan yang nyaris padam. Ratna berlari di sisinya, kujang pusakanya kini terhunus dan berkilauan di bawah sinar matahari. Ia berlari tepat di sampingnya, bahu mereka nyaris bersentuhan, tubuhnya menjadi perisai hidup bagi sang Juru Kidung. Matanya bergerak liar, siap menghadapi ancaman dari segala arah.
Mereka meledak keluar dari barisan Sunda, melintasi tanah tak bertuan itu, langsung menuju pusat komando Majapahit. Rumput hijau terasa lembut di bawah kakinya, kontras dengan kekerasan yang akan segera terjadi. Udara dipenuhi oleh desahan napas kolektif dari ribuan prajurit yang menyaksikan tindakan gila ini. Dua orang, seorang penyair dan seorang pengawal wanita berlari ke arah ribuan prajurit musuh. Itu adalah sebuah pemandangan yang begitu tak terduga, begitu menentang logika perang, hingga kedua belah pihak membeku sesaat.
Gagak Suro, yang tadinya siap memberi perintah untuk menyerang, hanya bisa menatap dengan mulut sedikit ternganga. Kebingungannya dengan cepat berubah menjadi amarah yang membara.
“Hentikan mereka!” teriaknya akhirnya.
Beberapa perwira Majapahit di barisan depan mulai bergerak maju, pedang terhunus. Namun, Dirgantara dan Ratna tidak berhenti. Mereka terus berlari untuk mencapai satu titik di tengah lapangan, di mana suara mereka bisa didengar oleh semua orang penting: oleh Raja Sunda, oleh para bangsawan, oleh para prajurit, dan yang terpenting, oleh Raja Majapahit.
Mereka berhenti tepat di tengah-tengah, menciptakan sebuah drama baru yang menjadi pusat perhatian. Di belakang mereka, seluruh pasukan Sunda yang siap mati. Di depan mereka, barisan perwira Majapahit yang marah. Di sisi kanan mereka, Raja Linggabuana yang menatap dengan tegang. Dan di sisi kiri, di atas panggung kehormatan, Raja Hayam Wuruk yang tampak bingung dan Mahapatih Gajah Mada yang wajahnya tetap tenang tak terbaca, matanya yang tajam kini sepenuhnya terfokus pada dua sosok kecil di tengah lapangan itu.
Sebelum Gagak Suro bisa meneriakkan perintah kedua, Dirgantara bertindak. Ia mengangkat lempengan tanah liat itu tinggi-tinggi, mengacungkannya ke langit seolah itu adalah sebuah pusaka suci.
“BERHENTI!” suaranya menggema di seluruh lapangan. Bukan suara seorang Juru Kidung, melainkan suara seorang agen yang terlatih, diperkuat oleh modulasi halus dari implannya agar terdengar jelas dan berwibawa. “PERANG INI DIBANGUN DI ATAS PENGKHIANATAN!”
Semua gerakan terhenti. Tuduhan itu begitu lantang, begitu langsung, begitu berani, hingga semua orang terpaku.