Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #29

Duel Dua Zaman

Tantangan Mahapatih Gajah Mada menggantung di udara Lapangan Bubat, memecah keheningan dengan bobot yang lebih berat daripada seribu genderang perang. Seluruh pasukan, baik Sunda maupun Majapahit, berdiri terpaku. Gagasan tentang seorang Mahapatih agung yang mempertaruhkan nasib sebuah pertempuran dalam pertarungan tunggal adalah sesuatu yang berasal dari kitab-kitab ksatria kuno, sebuah konsep heroik yang tak pernah mereka duga akan saksikan secara langsung.

Gagak Suro dan para sekutunya tampak pucat pasi, rencana pembantaian mereka kini telah direbut dan diubah menjadi sebuah tontonan kehormatan oleh pemimpin mereka sendiri. Di seberang lapangan, Raja Linggabuana menatap dengan tak percaya, pedang pusakanya masih terhunus namun kini terasa canggung di tangannya. Di atas panggung kehormatan, Raja Hayam Wuruk menatap Mahapatihnya dengan campuran rasa kaget dan kekaguman yang tak terhingga.

Bagi Dirgantara, tantangan itu adalah sebuah paradoks yang mengerikan sekaligus satu-satunya jalan keluar yang tersisa. Ini adalah sebuah vonis mati yang dibungkus sebagai sebuah kehormatan. Implannya langsung bekerja, mengakses setiap data historis dan biometrik tentang Gajah Mada. Hasilnya adalah sebuah kesimpulan yang dingin dan absolut.

Peluang kemenangan dalam pertarungan tunggal melawan subjek Gajah Mada: 1.7%.

Namun, di balik data yang suram itu, pikirannya sebagai seorang agen melihat sebuah celah. Sebuah duel tunggal, yang disaksikan oleh kedua kerajaan dan diprakarsai oleh Gajah Mada sendiri, akan memiliki hasil yang final dan tak terbantahkan. Jika ia menang, konspirasi itu akan mati seketika. Jika ia kalah … ia akan mati. Ini adalah pertaruhan dengan bayaran tertinggi, namun ini adalah satu-satunya pertaruhan yang bisa menghentikan pembantaian massal.

Ratna Laras segera bergerak ke sisinya, kujangnya terhunus, siap menjadi perisainya. “Ini kegilaan, Kisanak!” desisnya, matanya berkilat marah ke arah Gajah Mada. “Jangan terima! Ini jebakan! Ia adalah petarung terhebat di seluruh Nusantara!”

Dirgantara menatap Ratna, dan dalam tatapan wanita itu ia melihat ketakutan yang tulus, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dirgantara. Momen itu memberinya kekuatan. “Jebakan yang sesungguhnya adalah perang yang telah mereka siapkan,” balasnya pelan. “Ini … ini adalah satu-satunya jalan untuk membelokkan takdir.”

Ia lalu melangkah maju, melepaskan diri dari sisi Ratna. Dengan suara yang ia usahakan agar tidak bergetar, ia menjawab tantangan itu, suaranya menggema di lapangan yang sunyi. “Sebagai seorang Juru Kidung yang hanya mencari kebenaran, saya menerima tantangan kehormatan dari Sang Mahapatih.”

Sebuah gumaman kolektif menyebar di antara ribuan prajurit. Pertarungan itu akan terjadi.

Lapangan segera dibersihkan, menciptakan sebuah lingkaran luas di tengahnya. Ini bukan lagi medan perang; ini adalah sebuah arena kehormatan. Gajah Mada menuruni panggung kehormatan dengan langkah yang tenang dan mantap. Ia melepaskan jubah kebesarannya, menyisakan pakaian hitam sederhana yang memungkinkannya bergerak bebas. Seorang abdi dalem maju dan menyerahkan sebilah keris pusaka dengan warangka dari gading gajah. Gajah Mada menerimanya, menghunusnya dengan satu gerakan luwes, dan berdiri menunggu di tengah arena, tenang seperti gunung berapi yang sedang tidur.

Dirgantara juga melepas jubah pengembaranya. Ia kini hanya mengenakan celana pangsi dan kaus tanpa lengan, tubuhnya yang terlatih terlihat jelas. Ia tidak punya senjata.

Saat itulah, Ratna Laras mendekatinya. Tanpa berkata apa-apa, ia menyodorkan Kujang Pusaka Naga miliknya. Gagang berukir naga itu tampak berkilauan di bawah matahari.

Ratna melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka hingga kini terasa begitu dekat di tengah arena yang sunyi. Ia menyodorkan Kujang Pusaka Naga itu, bukan lagi dengan ketegasan seorang komandan, melainkan dengan kerentanan seorang perempuan yang mempertaruhkan segalanya.

Tangannya yang menggenggam gagang naga itu sedikit gemetar.

“Filosofi naga adalah menjaga keseimbangan,” bisiknya, suaranya parau, seolah setiap kata ditarik paksa dari dasar hatinya. Matanya yang berkaca-kaca menatap lekat ke dalam mata Dirgantara, sebuah permohonan bisu yang melampaui semua strategi perang. Ia tidak hanya menyerahkan sebuah senjata; ia menyerahkan sumpahnya, warisan leluhurnya, dan sebagian dari jiwanya.

Saat Dirgantara hendak menerimanya, jemari Ratna yang gemetar menyentuh punggung tangannya, sebuah sentuhan singkat yang terasa seperti sengatan api dan es.

Lihat selengkapnya