Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #30

Perpisahan Dua Dunia

Perintah Raja Hayam Wuruk yang lantang dan penuh kuasa menggema di Lapangan Bubat, menjadi petir yang membelah langit, menghancurkan sisa-sisa konspirasi. Para prajurit pengawal raja, yang sejak tadi hanya menonton dalam diam, kini bergerak dengan kecepatan dan efisiensi yang mematikan. Mereka menerobos barisan, wajah mereka keras tanpa ekspresi, dan tanpa perlawanan berarti, mereka menangkap Gagak Suro, Adipati Srenggana, dan beberapa perwira lain yang wajahnya pucat pasi karena kaget dan ketakutan. Para arsitek pembantaian itu kini digiring pergi sebagai pengkhianat, status mereka luruh dalam sekejap mata.

Suasana di lapangan itu berubah secara drastis. Ketegangan yang tadinya setajam bilah pedang kini menguap, digantikan oleh keheningan yang canggung dan penuh ketidakpercayaan. Para prajurit Majapahit menurunkan senjata mereka, menatap kosong ke arah Mahapatih mereka yang berdiri kalah di tengah arena. Para prajurit Sunda juga menyarungkan kembali kujang mereka, mata mereka beralih dari waspada menjadi bingung, lalu perlahan-lahan menjadi lega. Pertumpahan darah yang telah mereka siapkan untuk sambut dengan nyawa, telah sirna seperti kabut pagi.

Di tengah semua itu, Gajah Mada berdiri diam, tidak menatap siapa pun. Kekalahan fisiknya tidak seberapa dibandingkan dengan kehancuran wibawanya. Ia tidak hanya dikalahkan oleh seorang Juru Kidung; seluruh visinya, seluruh Sumpah Palapa-nya, kini ternoda oleh pengkhianatan dari orang-orang kepercayaannya sendiri. Dengan langkah yang terasa berat, seolah memikul beban seluruh Nusantara yang gagal ia satukan, ia berjalan menghampiri Raja Hayam Wuruk. Tanpa berkata apa-apa, ia berlutut, melepaskan keris pusakanya, dan meletakkannya di hadapan sang raja. Sebuah gestur pengunduran diri yang sunyi dan final.

Raja Hayam Wuruk menatap Mahapatihnya, mentornya, lelaki yang telah membangun imperium ini, dengan tatapan yang rumit. Ada kemarahan, ada kekecewaan, namun juga ada sisa rasa hormat. Ia hanya mengangguk pelan, sebuah penerimaan yang menandai akhir dari sebuah era.

Pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka tetap dilangsungkan tiga hari kemudian. Namun, suasananya telah berubah. Bukan lagi sebuah penyatuan yang dipaksakan, melainkan sebuah perayaan yang tulus. Kemegahan Majapahit kini diimbangi oleh keanggunan Sunda, menciptakan sebuah harmoni yang sesungguhnya. Raja Hayam Wuruk, yang kini telah keluar dari bayang-bayang Mahapatihnya, memerintah dengan kebijaksanaan dan kemurahan hati yang baru.

Dirgantara menyaksikan semua itu dari kejauhan. Misinya, secara teknis, telah berhasil dengan gemilang. Perang Bubat dicegah. Persatuan terjalin. Keseimbangan pulih. Namun, di dalam hatinya tidak ada rasa kemenangan. Hanya ada sebuah kekosongan yang dingin. Ia adalah hantu di tengah perayaan itu. Ia tidak memiliki tempat di sini. Dunianya, tugasnya, menunggunya di seberang lautan waktu yang tak terhingga. Ia tahu, sudah saatnya ia pergi.

Ia menunggu hingga malam setelah perayaan terakhir, saat istana mulai sunyi dan sebagian besar penghuninya telah terlelap dalam tidurnya. Ia mengirimkan sebuah pesan terakhir, meninggalkan sekuntum bunga teratai putih di depan pintu bilik Ratna Laras, sebuah simbol dari pertemuan pertama mereka di tepi kolam.

Ia menunggunya di taman belakang, di tempat yang sama di mana aliansi mereka lahir dan kepercayaan mereka ditempa.

Ratna Laras datang tak lama kemudian. Ia tidak lagi mengenakan zirah pengawalnya, hanya sehelai gaun malam sederhana yang membuatnya tampak lebih lembut di bawah cahaya rembulan. Namun, di matanya, Dirgantara masih melihat kekuatan seorang prajurit, kini bercampur dengan kesedihan yang tak terucapkan.

“Waktuku di sini … telah habis,” kata Dirgantara, setiap kata terasa seperti batu berat yang harus ia angkat dari dasar hatinya. “Aku harus kembali ke ‘kampung halamanku’ yang jauh.”

“Pergi?” ulang Ratna, suaranya terdengar tajam, nyaris seperti sentakan. Topeng komandannya yang tegar retak, memperlihatkan kepanikan dan rasa takut kehilangan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. “Semudah itu? Setelah semua yang kita lalui? Kau datang seperti badai, membalikkan dunia kami, menyelamatkan kami dari kehancuran … lalu kau akan pergi begitu saja seolah semua ini tak pernah terjadi?”

Lihat selengkapnya